Tampilkan postingan dengan label Ibu Profesional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibu Profesional. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Januari 2022

Tahapan Perkuliahan di Institut Ibu Profesional (2)

bundajundi.blogspot.com – Lanjutan tulisan sebelumnya tentang tahapan perkuliahan di Institut Ibu Profesional. Pada tulisan sebelumnya sudah ada pembahasan kelas Bunda Cekatan. Setelah Bunda Cekatan ada kelas apalagi?


Kelas Bunda Produktif

Kelas ketiga ini lagi-lagi alhamdulillah saya bisa gabung di batch 1 yang dipandu langsung oleh Ibu Septi Peni. Waktu belajar hampir sama dengan Bunda Cekatan, yaitu 6 bulan.

Pada awal kelas kami diminta memilih salah satu passion yang ingin ditekuni dan tidak bisa ganti di tengah jalan seperti saat di kelas Bunda Cekatan yang bisa ganti-ganti passion.

Sesuai passion yang sudah dipilih, kami dikumpulkan dalam sebuah cluster yang dibagi menjadi CoHousing. Setiap CoHousing beranggotakan 10 orang yang tiap orang memiliki rumah berbentuk hexagon. Jadi karena nama kota tempat kelas adalah Hexagon City, semua rumah juga berbentuk hexagon alias segienam.

Pada awal perkuliahan pun kami diminta membuat desain rumah hexagon sesuai dengan passion kami, apa saja ruangan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan passion. Para mahasiswa penduduk Hexagon City ini pun memiliki nama sendiri, yaitu Hexagonia.

Hexagon City bisa jadi adalah kota virtual pertama yang ada di Indonesia, atau bahkan dunia. Pada awal perkuliahan pun ada pemilihan walikota serta jajarannya.

Materi perkuliahan di kelas ini nama-nama materinya pun sesuai dengan kata H-E-X-A-G-O-N, meski ada 2 materi awal sebagai pengantar yang tidak ada di jajaran huruf tersebut.

Berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya, di kelas ini kerja tim yang utama. Tiap CoHousing membuat satu proyek yang dikerjakan bersama. Pengerjaan jurnal pun lebih banyak dikerjakan secara tim. Mau tidak mau, suka tidak suka sistem seperti ini pasti ada saja yang sekadar ‘ndompleng’ nama tanpa benar-benar kerja.

Bagi saya yang paling menarik dari tiap zona adalah zona O untuk Open Space. Pada zona ini ada virtual conference hexagon city. Setiap mahasiswa boleh memilih perannya sendiri, mau menjadi speaker, atau penerima manfaat.

Saya pun mencoba memberanikan diri menjadi speaker dengan materi ‘Dasar Penyuntingan Tulisan’ meski saya berada di cluster bisnis. Saya nekat berbagi ilmu yang sebenarnya masih sangat sedikit. Namun, di luar ekspektasi ternyata pilihan saya ini membawa dampak lain yang tidak terbayangkan. Alhamdulilah peserta pun cukup banyak (meski nggak sampai ratusan setidaknya nggak krik krik). Peserta pun cukup antusias dalam bertanya. Saat itu saya menggunakan platform Telegram. Sebenarnya banyak pilihan platform yang bisa digunakan, tapi saya memilih platform yang tekstual tidak perlu live.

Beberapa waktu setelah acara tersebut, tiba-tiba ada Hexagonia dari cluster menulis menghubungi saya untuk wawancara. Profil saya pun dimuat di majalah digital mereka Hexabliss yang membahas tentang jajaran kiprah perempuan. Masyaallah, di antara banyaknya speaker, mereka memilih saya. Jika bukan tangan Allah yang menggerakkan, tidak mungkin saya yang dipilih.

Setahun kemudian setelah acara tersebut yaitu di bulan ini, saya tiba-tiba diundang mengisi pelatihan mengenai dasar ejaan Bahasa Indonesia di bagian pemantauan dan pelaporan Departemen Lingkungan Hidup Pupuk Kaltim. Sebenarnya mereka meminta mengisi di platform Zoom, tapi saya memang kesulitan mengondisikan anak bayi saya jika harus live. Jadilah digunakan platform WhatsApp. Terbayang nggak, ibu rumah tangga mengisi pelatihan di perusahaan besar. Yah, meski bukan pelatihan penting, bagaimanapun ini adalah sebuah pencapaian.

Selanjutnya tentu kelas terakhir dari perkuliahan.

Kelas Bunda Salihah

Inilah jenjang terakhir itu, banyak teman memutuskan tidak lanjut ke tahap ini. Eh udah mulai di tahap Bunda Produktif sih, ada yang dari awal tidak ikut, ada yang mundur di tengah jalan. Saking beratnya kelas Bunda Produktif, di awal perkuliahan ada pembayaran komitmen fee yang akan dikembalikan bagi yang lulus hingga akhir perkuliahan.

Namun, untuk Bunda Salihah tidak ada komitmen fee tersebut. Kelas ini menurut saya hampir sama dengan kelas sebelumnya yaitu membuat proyek. Yang berbeda proyek di kelas ini diawali dari masalah yang dihadapi masing-masing mahasiswa.

Setiap mahasiswa memilih satu masalah untuk dipecahkan melalui proyek. Selain itu ada juga kampanye mencari tim baik dari sesama mahasiswa atau non mahasiswa yang memiliki masalah yang sama untuk dipecahkan bersama.

Berbeda dengan sebelumnya, saya memilih mengangkat masalah agama untuk saya. Berawal dari kajian yang saya ikuti mengenai Wirid Al-Qur’an, Sang Ustaz mengatakan bahwa kebanyakan orang malah belum khatam tadabur Al-Qur’an. Saya pun merasa menjadi salah satu yang belum khatam tersebut. Selama ini membaca terjemah Al-Qur’an loncat-loncat sesuai kebutuhan.

Alhamdulilah ada empat orang yang mau bergabung bersama tim saya, 1 mahasiswa Bunsal, 3 mahasiswa non Bunsal. Bersama mereka, kami berkomitmen merutinkan tadabur Al-Qur’an minimal sehari 1 halaman lalu menuliskan ayat yang berkesan untuk dibagikan di grup.

Sebagai seorang leader, sejujurnya saya merasakan berat sekali mengawal grup sesuai tahapan instruksi dari materi yang diberikan. Apalagi untuk mahasiswa non Bunsal, saya merasa ada rasa sungkan untuk mengajak mereka mikir hal rumit yang sebenarnya mereka tidak berkepentingan.

Alhamdulilah meski tertatih-tatih, saya dan tim pun bisa melewati setiap tantangan. Hingga saat ini program masih terus berjalan walau rencana milestone kedua untuk membuka member umum belum bisa terlaksana.

Tim kami pun terpilih lolos untuk melaju ke tahap selanjutnya yaitu ekosistem ibu pembaharu. Tahap ini kami akan dibimbing untuk membentuk sebuah komunitas yang berkepanjangan dan akan meninggalkan sebuah legacy kelak ketika diri ini hanya tinggal nama.

Namun, saya pribadi masih ragu untuk lanjut karena milestone kedua belum juga kami eksekusi. Semoga ada jalan untuk segera mengeksekusi.

Dari penjelasanku, kamu tertarik ikut perkuliahan juga? Ikut pendaftaran Foundation dulu, ya. Bisa sering-sering cek media sosial Ibu Profesional agar tidak ketinggalan infonya.

Salam manis dariku,

Agie Botianovi.

Senin, 24 Januari 2022

Empat Tahapan Perkuliahan di Institut Ibu Profesional (1)

bundajundi.blogspot.com - Kalau diingat-ingat, kapan ya pertama kali tahu Institut Ibu Profesional? Sepertinya sih sudah sejak 2015, waktu itu tahu dari teman dan sempat menjadi panitia acara kopdar perdana IP Malang. Hingga setelah itu saya mundur dari grup dan baru tertarik gabung lagi di Matrikulasi batch 4 yang tepatnya dimulai bulan Mei 2017. Eh tidak terasa sudah lima tahun lalu.

Matrikulasi ini kalau dulu –sebelum ada pembagian komponen- adalah pintu gerbang keanggotaan di IIP. Kalau belum lulus matrikulasi ya belum bisa masuk grup member-nya.

Kelas matrikulasi memberi banyak ilmu baru buat saya, tentang dasar-dasar adab menuntut ilmu, dan beberapa ilmu penting lain. Setiap materi juga ada feedback berupa Nice Home Work (NHW). Paling keinget di NHW 3 karena isinya membuat surat cinta buat suami, hahahaha. Meski udah lupa juga dulu nulis apa buat suami. Ada juga ilmu tentang memahami anak, dan lain-lain. Biasanya tiap batch ada penyesuaian sih sistem matrikulasi dan banyak materinya. Karena ada materi yang dulu saya nggak dapat, batch yang baru dapat.

Keinget juga materi tentang FOMO (Fear Of Missing Out), sebuah ketakutan ketinggalan informasi di media sosial sehingga terus menerus scroll karena takut ketinggalan. Semoga kita tidak mengalami hal ini dengan menggunakan mantra ‘menarik tapi tidak tertarik'.

Pada kelas matrikulasi pula saya belajar tentang semua ibu adalah ibu bekerja, yang membedakannya yang satu bekerja di ranah domestik, yang satu bekerja di ranah publik. Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya merasa bahagia dengan ungkapan tersebut. Ya, kami pun di rumah sedang bekerja membangun peradaban. Karena mendidik anak sama dengan mempersiapkan peradaban.

Setelah lulus matrikulasi, kami mendaftar untuk jenjang pertama perkuliahan.



Kelas Bunda Sayang

Kami dari batch 4 setelah lulus matrikulasi langsung diberikan kesempatan untuk mendaftar kelas Bunda Sayang batch 3. Namun, kuota yang diberikan terbatas karena juga mungkin keterbatasan fasilitator. Jadinya waktu itu daftarnya rebutan. Padahal kuota 1.500 tapi rebutan saking banyaknya yang mau daftar, masyaallah. Ada beberapa teman sekelas dari matrikulasi tidak terangkut ke kelas ini.

Kelas Bunda Sayang sendiri berisi 12 materi dasar mendidik anak yang jaman saya dulu disampaikan dalam satu tahun. Tiap bulan 1 materi selama 12 bulan. Seperti halnya matrikulasi, kelas ini juga ada tugas sebagai syarat kelulusan. Tugasnya ada tantangan 10 hari. Jadi selama 10 hari mahasiswa diminta menuliskan jurnalnya dalam mempraktikkan ilmu yang sudah didapat. Jika ingin extramiles bisa mengerjakan 15 hari berturut-turut tanpa jeda. Pun ada 3 macam bagde: outstanding performance, excellent, dan bagde dasar jika mengerjakannya rapel atau tidak berturut-turut.

Materi kelas ini yang paling saya ingat ada di materi pertama adalah komunikasi produktif. Yes, ternyata memang inilah kunci dari segala kunci. Butuh kesabaran yang panjang untuk terus berlatih dan berlatih.

Ada juga materi tentang matematika, gaya belajar, hingga materi tentang multimedia. Zaman yang serba multimedia ini mau tidak mau sebagai orang tua harus melek teknologi agar kita bisa terus memantau apa yang dikerjakan anak. Apalagi multimedia membuat anak mudah mengakses apapun tanpa batas, termasuk hal-hal yang tidak baik.

Kelas Bunda Sayang ini juga ada program pelajar teladan (eh bener gak ya istilahnya?) yang mana tiap materi akan diambil 1 orang dengan bagde outstanding performance untuk berkunjung ke kelas lain. Seru sekali program ini. Sayangnya saya belum pernah berkesempatan terpilih, mungkin karena jarang-jarang juga bisa outstanding performance, wkwkwk.

Kalau yang batch yang terbaru kurang begitu paham bagaimana sistemnya, sepertinya banyak perubahan juga, termasuk perubahan waktu belajar. Sekilas mendengar sekarang perkuliahan bunda sayang dimampatkan jadi lebih cepat tidak sampai 1 tahun. Ada beberapa materi yang dijadikan satu, kabarnya seperti itu.

Setelah lulus Bunda Sayang ada kelas apalagi? Yes, kelas Bunda Cekatan. Langsung? Enggak dong, nunggu lumayan lama, jadinya dalam kurun waktu tidak ada perkuliahan kegiatan ada di rumbel a.k.a rumah belajar. Eh tapi ini sebelum pemecahan menjadi komponen-komponen. Kalau sekarang ingin masuk rumbel harus ikut orientasi Komunitas dulu, saya belum masuk karena fokus di komponen Institut.

Kelas Bunda Cekatan

Yup, ini kelas kedua di tahapan perkuliahan Institut Ibu Profesional. Kelas ini memuat ribuan mahasiswa lulusan Bunda Sayang dari batch 1 hingga batch 6 (semoga nggak salah). Istimewanya alhamdulilah ikut batch 1 ini jadi bisa dipandu langsung oleh Ibu Septi Peni Wulandini.

Berbeda dengan konsep kelas Bunda Sayang, kelas ini tidak mengajarkan 12 ilmu dasar Bunda Cekatan sebagaimana bukunya yang sudah terbit terlebih dahulu. Kelas ini dibuat gamifikasi dengan pembagian tahapan menjadi empat tahap: kelas telur-telur, kelas ulat-ulat, kelas kepompong, dan kelas kupu-kupu.

Yang saya ingat dari kelas-kelas ini mahasiswa diminta memetakan hal-hal apa saja yang termasuk ranah suka dan bisa. Lalu kita pun diminta memilih ingin konsentrasi di bidang apa agar menjadi cekatan. Jadi makna cekatan di sini tidak hanya cekatan dalam kerumahtanggaan, tapi cekatan di bidang yang sudah kita pilih.

Kelas kepompong mengajarkan saya bagaimana untuk berpuasa dari hal-hal yang mengganggu terlaksana target dari bidang yang saya tekuni. Selama sebulan penuh di kelas kepompong diminta mengasah skill yang ingin ditekuni. Kelas ini mengajarkan agar mencukupkan diri untuk tidak memakan semua ilmu seperti halnya saat di kelas ulat-ulat dimana pada tahapan tersebut kita diminta memakan sebanyak-banyaknya ilmu yang ditebarkan oleh sesama mahasiswa yang ahli di bidang masing-masing.

Yang seru juga di Bunda Cekatan ini ada program mentoriship, setiap mahasiswa diharap menjadi mentor dan mentee pada bidang yang dikuasai dan yang ingin dikuasai. Saya dulu memilih menjadi mentor di bidang bisnis, sedang sebagai mentee saya memilih menjadi mentee untuk menerbitkan buku di penerbit mayor.

Lalu, setelah jadi kupu-kupu mau lanjut ke mana lagi? Lanjut ke part 2, ya. Stay tune.


Senin, 06 April 2020

My Dhuha

Dhuha, salah satu waktu yang utama dimana Allah bersumpah atasnya. Dhuha hadir di saat manusia memulai aktivitas rutinnya hari itu. Maka memulai hari dengan shalat dhuha tentu akan menjadi pembuka kebaikan-kebaikan di hari itu.

Disebutkan pula dalam sebuah riwayat bahwa 2 rakaat shalat dhuha bisa menjadi pengganti sedekah setiap sendi tubuh kita. Dhuha memang shalat sunnah tapi memiliki banyak sekali keutamaan. Lalu mengapa saya dan suami memutuskan memberi nama anak keempat dengan nama Dhuha?

Ya, tentu semua menduga karena lahir di waktu dhuha. Memang betul, anak keempat kami lahir di saat awal waktu memasuki dhuha.

Berawal dari celetukan ibu yang turut mendampingi persalinan agar menamakan anak kami dengan nama fajar karena lahir pagi hari. Saya pun langsung menimpali kalau ini udah masuk dhuha, bukan fajar lagi. Dan begitulah akhirnya saya dan suami pun sepakat menamainya dhuha.

Harapan kami, putra kami ini bisa menjadi ahlu dhuha yang selalu menjaga shalat dhuhanya sepanjang hidupnya kelak. Adnan Dhuha Abdillah, hamba Allah penenang hati yang hadir di waktu dhuha. Adnan bisa diartikan surga tapi bisa juga diartikan penenang hati. Dipanggil apa saja dari namanya semoga nama tersebut bisa menjadi do'a kebaikan untuk pemilik nama.

Bunda Jundi
diselesaikan 6 April 2020

Sabtu, 04 April 2020

Popok Kain

Lama nggak bahas beginian akhirnya bahas lagi karena emang sekarang kerjaan saya tiap hari berkutat di perpopokan, XD. Yes, tentu merawat bayi 1,5 bulan masih sangat erat hubungannya dengan masalah popok. Tapi, kenapa saya kasih judul popok kain?

Bagi sebagian orang mungkin terlihat aneh ketika tahu saya -orang tua milenial- masih memberikan popok kain ke anaknya. Dimana jamannya sekarang udah jamannya serba praktis, popok sekali pakai umum digunakan semua orang, tapi kok mau-maunya saya tetep makein popok kain ke anak?

Buat saya, memastikan kecukupan ASI itu penting karena bisa dilihat dari seberapa sering anak buang air kecil dalam sehari. Yang kedua, menurut yang saya tau popok kain lebih sehat daripada pospak. Dan yang ketiga popok kain lebih ramah lingkungan, tidak menambah gunungan sampah popok yang berjuta tahun baru bisa terurai, hiks.

Memang sih agak dilematis, popok kain sedikit lebih repot daripada ketika memakaikan bayi full pospak. Maka seperti ketiga anak sebelumnya saya pun memakaikan clodi sebagai pengganti pospak. Tapi tetep, pemakaian clodi sendiri kalau saya tidak langsung dari baru lahir, kalau baru lahir sampai usia yang agak besar saya masih memakaikan popok tali sepanjang hari dan clodi atau pospak hanya untuk malam hati. Lalu apakah itu clodi?

Ternyata masih banyak yang tidak paham tentang seluk beluk clodi. Ketika saya posting tentang clodi pasti banyak pertanyaan seputar pemakaian clodi dan perawatannya. Clodi sendiri adalah singkatan dari cloth diaper, popok kain, yang menurut istilah adalah popok kain yang bisa menyerap beberapa kali buang air bayi seperti pospak, bedanya bisa dipakai berulang kali.

Penjelasan lebih lanjut tentang pengalaman saya berclodi sepertinya bisa dilanjut di tulisan berikutnya, hehe.

Salam
Bunda Jundi
4 April 2020
Menjadi ibu itu yang penting happy ^^

Jumat, 03 April 2020

PTS di Rumah

Pengalaman pertama buat saya bisa menemani anak ujian dari rumah. Ya, dengan adanya wabah covid19 saat ini telah memberi banyak sekali pengalaman baru bagi saya termasuk menemani anak menghadapi Penilaian Tengah Semester.

Dengan segala keterbatasan pembelajaran online, selama hampir 3 pekan ini pembelajaran hingga ujian dilangsungkan online dari rumah. Tiap pagi bertemankan hp untuk memfoto, merekam, atau memvideo setiap tugas anak yang sudah diberikan gurunya. Ah, pasti ini pun tak mudah untuk gurunya. Membayangkan tiap hari seorang guru harus menerima banyak sekali video, foto, dan audio untuk kemudian direkap nilainya. Sudah pasti butuh tambahan kuota juga agar semua tugas bisa terkoreksi dengan baik. Belum lagi jika ternyata lembar jawaban siswa yang difoto agak blur, pasti gurunya juga kesulitan mengoreksi.

Menemani anak PTS di rumah membuat saya berasa menjadi pengawas ujian anak sendiri. Di sinilah ujian kejujuran itu, jujur saja kadang ada rasa gatel ingin memberitahu anak ketika jawabannya salah, tapi saya tetap berusaha untuk diam tidak memberitahu sama sekali jika jawaban dia salah. Meski dari rumah, jam ujian dilakukan secara serentak, jadi anak tetap mandi dan sarapan seperti saat harus berangkat ke sekolah.

Namun ujian lain adalah banyaknya distraksi dari adik-adik yang belum sekolah. Karena anak saya baru satu yang sekolah, jadilah anak-anak yang lain beberapa kali mencari perhatian dan mengganggu proses ujian kakaknya. Yah, emak kudu sabar menghadapi ini, seperti halnya harus bersabar untuk tetap di rumah dan hanya keluar ketika benar-benar perlu. Semoga wabah covid19 ini segera mereda.

Bunda Jundi
diselesaikan 3 April 2020

Senin, 30 Maret 2020

Buah Hati Keempat

Salah satu hal yang tidak mungkin dilupakan seorang ibu adalah proses persalinan buah hatinya. Begitu juga denganku. Baru beberapa waktu yang lalu aku melahirkan anak keempat. Sebenarnya ini adalah persalinan ketiga, karena persalinan kedua melahirkan bayi kembar.

Entahlah, meski sudah kali ketiga, persalinan ini menurutku justru persalinan paling panjang dan menguras air mata. Rasanya proses persalinan kemarin tidak berujung, lama sekali. Namun setelah melewatinya aku pun memahami mengapa prosesnya terasa begitu menyakitkan, sangat berbeda dengan persalinan sebelumnya yang relatif singkat.

Anak pertama prosesnya cukup cepat, setengah dua belas bukaan tiga, setengah tiga sudah lahir. Persalinan kedua juga relatif cepat, lima pagi bukaan dua, sembilan pagi sudah lahir. Kupikir persalinan ketiga juga akan lebih cepat dari dua persalinan sebelumnya. Kata orang, semakin sering bersalin akan semakin mudah. Namun ternyata aku salah. Persalinan ketigaku justru menjadi persalinan paling lama yang pernah kualami.

Jika dua persalinan sebelumnya adanya bloody show menjadi penanda adanya pembukaan, maka persalinan kali ini tidak berlaku seperti itu. Sabtu pagi darah itu telah keluar dari jalan lahir, aku pun optimis bayi akan lahir hari itu juga seperti sebelumnya. Namun ternyata aku salah. Hingga siang hari bercak darah terus keluar, tapi kontraksi yang ritmis belum juga terasa. Ah, mengapa tak seperti persalinanku sebelumnya?

Ibu yang mengkhawatirkan kondisiku langsung mengajak ke bidan untuk diperiksa, sama sekali belum ada pembukaan. Aku pun kecewa, mengapa berbeda? Kami pun kembali pulang, menemui anak pertama yang sedang kurang sehat, juga meredakan rindu pada anak kedua dan ketiga.

Hingga malam, kontraksi mulai datang tapi belum intens, sedang instruksi bidan agar ke klinik ketika kontraksi sudah rutin lima menit sekali. Ah, rasanya aku tak sabar menunggu.

Aku terus saja berjalan mondar mandir di dalam rumah agar kontraksi lebih intens. Menanti setiap gelombang cinta yang merambat lamat ke seluruh raga. Kuhitungi setiap sinyal itu datang. Ah, jaraknya masih jauh, belum teratur lima menit sekali.

Kondisi yang semakin malam membuatku terintimidasi, ditambah pertanyaan suami dan ibu yang memperjelas keputusanku, "Berangkat sekarang?"

Lima belas menit sekali, akhirnya kuputuskan untuk menjawab iya. Suami mengkhawatirkan jalanan macet di akhir pekan ditambah persalinan sebelumnya yang berlangsung cepat.

Ah, ditambah perjalanan yang memakan waktu setengah jam lebih bisa jadi sampai klinik kontraksi sudah lima menit sekali, begitu harapanku.

Sekitar pukul sembilan malam sampailah di klinik bidan tempatku selama ini memeriksakan kehamilan. Di perjalanan aku hanya sempat merasakan sekali kontraksi yang cukup kuat. Ah, apakah lagi-lagi belum ada pembukaan?

Di ruang periksa salah seorang bidan melakukan cek dalam di jalan lahir, bukaan satu. Alhamdulilah sudah pembukaan, walau lagi-lagi aku masih harus menunggu.
Malam itu aku, suami, dan ibu bermalam di sana, di sebuah kamar inap yang masih kosong. Dua kamar lain telah terisi pasien yang baru melahirkan pagi tadi.

Berharap penambahan pembukaan berlangsung cepat, aku duduk di birthing ball yang disediakan di kamar. Bismillah tak lama lagi aku akan menyambut kehadirannya. Bidan baru akan cek lagi setelah empat jam atau ketika aku merasakan sakit yang teramat dan keinginan mengejan datang.

Hingga pukul sepuluh, kontraksi masih jarang datang. Aku pun masih bisa menikmati lalapan ayam yang baru saja dibelikan suami di depan gang klinik. Obrolan masih mengalir ringan dengan suami dan ibu.

Menjelang sebelas malam, kantuk mulai menyerang. Kucoba untuk merebah dan menutup mata. Sejenak saja, gelombang cinta itu datang. Mencoba mengambil nafas panjang tapi rasa tak nyaman itu tetap ada. Aku pun berdiri, mengalihkan rasa dengan berpegangan tembok. Sayang rasa tak nyaman itu tak juga pergi.

Kubangunkan suami, berharap pelukannya bisa mengurangi rasa tak nyaman ini. Namun rasa itu semakin mendera, terasa bagai setruman listrik yang menyengat kuat terutama di pinggang. Aku meminta suami mengusapnya tapi rasa itu tak juga mereda. Lagi, latihan nafas panjang yang sudah dipelajari coba kupraktekkan. Sesaat kemudian rasa itu enyah. Aku pun memilih duduk di birthing ball lagi, suami kuminta istirahat.

Tak lama rasa kantuk itu kembali datang, aku coba merebah lagi ke arah kiri, berharap bisa mempercepat pembukaan. Kadang ada rasa mulas ingin buang air besar, aku pun pergi ke kamar mandi, berharap hajatku bisa tuntas sebelum aku melahirkan. Namun ternyata hanya air seni yang bisa keluar.

Siklus itu berlangsung berkali-kali, entah berapa kali aku tidur, kontraksi, bangun, membangunkan suami, duduk birthing ball, ke kamar mandi.

Ah, mengapa ketuban juga belum juga pecah. Aku berharap ketubanku pecah agar pembukaan cepat sempurna seperti persalinan sebelumnya.

Pukul satu dini hari aku mencoba merebah, ngantuk sekali rasanya. Di luar terdengar ada pasien baru masuk lagi, ibu keluar mencoba membangunkan bidan yang istirahat. Setelah ibu masuk ruangan lagi ibu bercerita kalau pasien yang baru masuk akan melahirkan anak ketujuh.

Ah, jangan-jangan temanku, karena ada teman dengan usia kandungan hampir sama akan melahirkan anak ketujuh. Aku pun bilang suami, lalu suami keluar untuk memastikan. Ternyata benar.

Tak lama temanku masuk ke kamar, dia tidak mendapat kamar karena hanya tersedia tiga kamar inap yang sudah penuh. Dia menempati ruang periksa bidan.

Kelelahan, aku menyambutnya dengan tidur sambil menahan rasa sakit. Ah, temanku ini tentunya sudah lebih strong karena pengalaman ketujuh. Dia baru saja dicek sudah pembukaan empat, sedang aku baru pembukaan tiga. Ah, jujur saja aku terintimidasi, mengapa pembukaanku bertambah sangat lambat?

Menjelang subuh, gelombang cinta itu datang semakin kuat dan intens, aku akhirnya dibawa ke kamar bersalin, pembukaan baru lima walau rasanya sudah tidak tertahankan lagi.

Setelah dicek dalam, ada rasa tak nyaman, aku izin turun dari dipan. Ada rasa ingin mengejan datang, ternyata ketuban keluar bercucuran. Ah, semoga kali ini lengkap seperti anak pertama dulu, setelah pecah ketuban langsung lengkap.
Lagi-lagi aku harus menelan kecewa, pembukaan tetap di lima.

Istighfar banyak-banyak kubisikkan dari bibir yang seolah kebas menahan rasa sakit. Apakah ini balasan atas kesombonganku selama ini karena telah melalui dua persalinan yang mudah? Lalu dengan percaya diri aku memastikan persalinan kali ini juga pasti mudah. Allah, ampunilah keangkuhanku, karena sesungguhnya kemudahan itu semata datangnya dari-Mu.

Aku menangis menelan rasa sakit, memperbanyak istighfar mengingat dosa-dosa. Aku berbisik ke suami agar dia memaafkan segala kesalahanku.

Adzan subuh telah berkumandang tapi si dia masih malu-malu bergelung di rahimku. Baik suami, ibu, dan dua bidan bergantian melaksanakan shalat subuh. Kondisiku sudah entah, duduk di birthing ball dan mencoba menggunakan peanut ball semua tak lagi mampu mengalihkan rasa tak nyaman. Berkali-kali aku ingin mengejan tapi belum diperkenankan karena bukaan belum sempurna.

"Sayang, jangan dulu, energinya dihemat." Suami lagi-lagi dengan sabar mengingatkan. Berkali-kali dia menguatkan.

Beberapa kali dicek bukaan masih di tujuh, lalu delapan, lalu sembilan, aku semakin tak tahan ingin mengejan. Sedang di ruang sebelah temanku sudah selesai melahirkan bayi ketujuhnya dengan selamat. Aku semakin ingin segera menyelesaikan ujianku kali ini.

Aku terus memaksa mengejan untuk mengurangi rasa tak nyaman, namun terus saja diminta menahan dulu hingga bidan senior pemilik klinik pun datang.

Tanpa ba-bi-bu beliau langsung memanduku tak peduli bukaanku yg katanya belum sempurna. Melihat posisi bayi, aku disarankan mengejan dengan posisi miring, tapi aku sudah tidak kuat lagi untuk mengubah posisi yang terlanjur terasa nyaman.

Air mataku berderai, berkali-kali saat keinginan mengejan itu datang aku berusaha sekuat tenaga mendorong. Bahkan di jalan lahir Bu bidan mengusap dengan air hangat. Beberapa kali pula saat aku mengejan keluar pula hajat yang ada di belakang, terasa dari tisu yang beberapa kali dioleskan untuk membersihkan. Ah, baru kali ini aku separah ini.

"Astaghfirullah, astaghfirullah," air mata ini terus menetes merasakan tenaga yang rasanya sudah terkuras habis.

"Makan kurma ya buat energi."

Aku menggeleng. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku harus segera menyelesaikan fase ini.

Entah sudah berapa kali aku harus mengejan, rasanya sudah belasan kali. Di jalan lahir rasanya sudah mengganjal kepala bayi mendesak-desak. Kenapa rasa hangat menenangkan itu tak juga datang?

Tawaran minum akhirnya kuiyakan, tenggorokanku terasa kering beberapa kali mengejan.

"Bismillah ya Allah, bismillah." Aku meracau sambil menangis.

Lagi-lagi kupaksa mengejan, entah keberapa kalinya hingga tepat pukul 06.18 lahirlah penyejuk mata keempatku, laki-laki kedua.

Dia langsung ditaruh di dadaku untuk IMD.

"Pantes Mbak Agie persalinan lama, jadi barusan yang keluar dahinya dulu, dongak. Apalagi dia pake safe belt plasenta."

Masyaallah, berawal dari perut gantung bekas hamil kembar ternyata menyisakan persalinan yang sangat lama dan menyakitkan.

Tubuhku pun bergetar hebat.

"Diinfus ya biar gak gemetar."

Beberapa kali dicari pembuluh untuk infus tidak ketemu, akhirnya aku diminta menenangkan diriku agar tidak bergetar dan tidak perlu diinfus.

Istighfar dan basmalah yang terus kuucap, lambat laun tubuhku pun dapat kukendalikan.

"Mau sarapan apa Mbak Agie?" Bidan menawari.

Ah rasanya sudah tidak nafsu makan apapun, lemas. Aku menggeleng, "Terserah Mbak, belum nafsu makan apapun."

Allah, ampuni dosaku.

Diselesaikan 27 Maret 2020
Adnan Dhuha Abdillah lahir tepat di 40 minggu usia kehamilan, 16 Februari 2020

Minggu, 09 Juni 2019

So Late Adzan

Salah satu hal 'unik' lagi yang ada di desa suami adalah adzan ashar yang 'sengaja' ditelatkan. Katanya sih agar para petani yang sedang di sawah tidak buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, ini kata suami. Namun entahlah, menurutku hal ini kok terdengar kurang relevan. Padahal ketika terdengar adzan ashar juga tidak semua petani langsung buru-buru bersih diri agar bisa berjamaah di musholla. Nyatanya mereka juga tetap mengakhirkan sholat ashar menjelang waktu magrib, ini sih yang sering saya temui.

Jika di aplikasi hp adzan ashar seharusnya berbunyi pukul 15.00, maka di desa sini baru ada adzan pukul 16.00-16.30, sekitar waktu itu. Ah, membuat penduduk di sini pun lebih gemar lagi mengulur-ulur waktu sholat yang seharusnya disegerakan.

Jika ini memang adat kebiasaan penduduk di sini, maka menurut saya kebiasaan ini patut diubah menjadi lebih baik. Apalagi hal ini bisa menjadi fatal untuk yang suka mengakhirkan sholat dhuhurnya. Sebenarnya sudah masuk waktu ashar, tapi tetap mengerjakan sholat dhuhur karena belum terdengar adzan ashar. Tak peduli matahari sudah condong ke barat, yang penting belum adzan ashar maka belum masuk waktu ashar.

Ah, saya sendiri kalau di sini sholat sesuai adzan aplikasi saja, meski mungkin ada juga yang mengira saya sholatnya salah waktu. Entahlah, yang penting Allah Maha Tahu.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-28

Jumat, 07 Juni 2019

Perceraian

Perceraian, sebuah kata yang sering kali membuat saya shock mendengarnya, apalagi jika melihat kemesraan yang selalu ditunjuk-tunjukkan tiba-tiba menghilang tanpa jejak, begitu saja.

Kita memang tak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam kehidupan rumah tangga seseorang. Bisa jadi apa yang ditampakkan justru sebuah topeng pembenaran atas ketidakberesan kehidupan rumah tangganya. Siapa yang tahu? Hanya untuk menghibur diri bahwa rumah tangga saya baik-baik saja bisa jadi seseorang justru selalu berusaha menampakkan kemesraan terutama di sosmed, sebuah dunia yang penuh kepalsuan.

Kita bisa dengan bebas membentuk sendiri persepsi orang terhadap diri kita, entah itu untuk sebuah kebenaran atau tidak. Yang jelas sosmed itu maya, yang ditampakkan adalah sisi baiknya saja. Jika tidak pernah bertemu lagi di dunia nyata, maka jangan pernah berharap kau akan tau wajah dia sesungguhnya.

Kembali lagi ke perceraian. Saya sering tidak menyangka bahwa perceraian akan menimpa teman atau saudara di usia pernikahan yang masih sangat muda. Siapa yang pernah menyangka bahwa di dunia yang jauh dari dunia 'artis' ternyata juga ada pernikahan yang berlangsung hanya dalam hitungan bulan, atau mungkin hanya bertahan 1-2 tahun saja.

Ah, saya tak pernah menyangka, tapi inilah dunia. Ketidakcocokan itu bisa jadi memang baru terasa setelah beberapa waktu, terlepas dari bagaimanakah proses perkenalannya dulu. Namun perceraian itu nyata adanya, jika pertengkaran sudah tak ada kata damai, atau perdamaian sudah tidak bisa mufakat, mungkin memang lebih baiknya adalah berpisah. Daripada ada jiwa yang semakin terdholimi, atau jiwa yang semakin tersiksa.

Karena perceraian adalah sesuatu yang boleh, meski hal itu dibenci Allah. Dan mungkin setan akan berteriak kegirangan saat ada talak tertunaikan. Ah perceraian, sesuatu yang candanya pun bisa menjadi nyata. Maka wahai para suami, berhati-hatilah menata emosi, jangan sampai emosi sesaat menjadikan kata yang dibenci itu keluar dari mulutmu.

Dan untuk para istri termasuk saya, janganlah suka menyulut pertengkaran dengan suami. Sering kali mengalah itu bukan menjadi kalah, tapi mengalah itu adalah kemenangan melawan hawa nafsu.

Bisa jadi, botol dan tutupnya sudah tidak seukuran lagi, tak bisa lagi bersama saling melengkapi.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-26

Kamis, 06 Juni 2019

Lebaran di Desa

Lebaran di desa suami meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Beberapa adat kebiasaan di sini begitu berbeda dengan apa yang ada di kota tempatku dibesarkan. Salah satu hal paling unik adalah tata cara sholat iednya.

Sholat ied di sini diadakan di musholla masing-masing blok. Jadi hanya beberapa baris saja. Bapak-bapak di dalam musholla tidak sampai penuh, kemudian ibu-ibu di luar musholla hanya hingga sekitar 3-4 shof saja.

Sembari pergi sholat, tiap rumah membawa makanan untuk dimakan bersama dengan saling bertukar, intinya tidak boleh makan milik sendiri. Rata-rata orang desa sini selalu menyembelih 1 ayam untuk dimasak opor lengkap dengan lontong dan ketupatnya. Makanan diletakkan di 1 baki besar berisi 1 mangkuk penuh isi opor dengan beberapa bungkus lontong. Nanti akan dimakan setelah sholat ied dengan melingkar sekitar 3-5 orang tiap nampan, makan bersama.

Sedangkan hal unik yang paling unik menurutku adalah saat khutbah sholat. Jika di kotaku khutbah disampaikan dengan bahasa Indonesia, lengkap dengan Khotib yang biasanya ustadz yang cukup dikenal, maka di sini khutbah disampaikan dengan bahasa Arab! Entahlah jamaah lain paham semua atau tidak dengan apa yang 'dibaca' oleh sang khatib yang juga merangkap sebagai imam.

'Kerpekan' yang dibaca pun kuamati sepertinya sama dari tahun ke tahun. Uniknya lagi, sang khatib membacakan dengan nada penuturan bukan seperti ceramah, tapi seperti sedang tilawah. Saya sempat protes tentang hal ini ke suami, lalu kita dapat apa kalau khutbahnya semacam itu? Kata suami, ya yang mondok kan tau artinya. Okelah, tapi menurut tetap saja isinya seperti tidak merasuk ke dalam hati. Hal ini pun juga terjadi saat sholat Jumat, entahlah. Yang tak paham bahasa Arab akan mendapat 'siraman rohani' dari mana?

Namun bagaimanapun inilah adat kebiasaan yang unik yang tetap harus dilestarikan, mungkin begitulah di desa ini turun temurun dilakukan. Walau barangkali jika ada perbaikan terhadap isi khutbah, maka pasti akan lebih bermakna.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-25

Rabu, 05 Juni 2019

Cinta yang Tulus

Di dunia ini sejatinya manusia sedang sendiri. Manusia berbuat sesuai keinginan sendiri tanpa tendensi orang lain. Setiap manusia pun akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya sendiri, tanpa orang lain yang ikut menanggung. Sendiri, benar-benar sendiri.

Namun di dunia ini, aku memiliki dua cinta, ya hanya ada dua cinta. Dua cinta yang teramat tulus. Selain mereka, entah siapa lagi yang mencintaiku dengan tulus. Mungkin Bapak atau Eyang yang sudah pergi mendahuluiku.

Namun kini, hanya tersisa dua cinta, cinta suami dan ibuku saja. Tiada lagi yang lain. Entahlah, kurasa di dunia ini tidak ada lagi cinta yang tulus selain cinta mereka. Aku sendiri, benar-benar sendiri.

Suatu saat saat aku merasa sendiri, aku pernah bertanya kepada suami, "Apakah kamu menyayangiku?"

"Pertanyaan macam apakah itu?"

Apa masih kurang bukti cinta dan sayangnya selama sewindu ini? Ah ya, tepat 9 Juni esok kami tepat 8 tahun masehi membina rumah tangga.

Begitupun ibuku, beliau pernah berkata, "Tiada cinta yang lebih tulus selain cinta Ibu."

Ah, Ibu memang teramat mencintaiku hingga dulu sebelum aku menikah nampak sekali beda perlakuan Ibu. Ibu pernah berkata, ibu begitu karena akulah satu-satunya anaknya yang sudah yatim sedari bayi. Sedang kedua saudaraku masih memiliki ayah yang tulus mencintai mereka.

Taukah? Tidak ada cinta ayah tiri yang melebihi cinta bapak kandung yang dari tulang sulbinya aku bermula. Tidak, tidak akan pernah sama. Meski aku bersyukur memiliki ayah tiri yang kutau beliau mencoba menyayangiku. Walau tak sama, tak akan pernah sama.

Maka cintaku, aku juga mencintaimu. Suamiku, ibuku, hanya kalianlah yang tulus mencintaiku dan yang kucintai.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-24

Selasa, 04 Juni 2019

Ramadhan Terakhir

Inikah tarawih terakhirku? Semalam sempat terbesit dalam hati, bilakah tarawih ini adalah tarawih terakhirku? Air mataku pun menitik, lalu menderas. Sudah beribadah apa saja di bulan Ramadhan ini? Apa tetap sama dengan sebelum-sebelumnya? Kusia-siakan Ramadhan hingga dia pergi tanpa menoleh lagi.

Palsu! Aku selalu berjanji palsu dari tahun ke tahun. Janjiku ingin lebih optimal beribadah tahun ini. Nyata-nyatanya, sama saja. Aku lagi-lagi menyia-nyiakan.

Tarawih kemarin akankah menjadi tarawih terakhirku di tahun ini, atau menjadi tarawih terakhir dalam hidupku? Ah, sampaikah aku ke tahun berikutnya? Seolah-olah diri segera beranjak dari dunia ini. Lagi-lagi air mata itu mengaliri pipi. Telah kusia-siakan Ramadhan kali ini.

Ramadhan, sudikah kiranya dirimu berjumpa lagi denganku? Aku sudah merindumu, meski baru beberapa jam lalu kita berpisah.

Ramadhan, akankah tahun ini kamu akan membekas di tiap nafasku? Akankah kebiasaan-kebiasaan yang kulakukan bersamamu akan tetap kubawa saat tak lagi bersamamu?

Ramadhan, kaulah bulan penuh cinta. Darimu aku belajar, bahwa setiap menit begitu berarti untuk mengeja tiap kalamullah. Tapi sudahkah aku mengoptimalkan cinta ini bersamamu?

Ramadhan, apakah aku mendapat malam istimewamu itu? Sebuah malammu yang terlalu istimewa, tapi lagi-lagi aku barangkali telah mengabaikannya.

Ramadhan, ah janganlah pergi. Aku masih ingin kita bersama lagi. Peluklah erat kalbuku agar selalu tertaut padamu.

Ah Ramadhan. Mudahkanlah hamba ya Rabb agar bisa bertemu dengan Ramadhan-Mu, lagi, lagi, dan lagi. Diri ini sudah ingin mencuci dosa lagi, karena nyatanya dosaku masih menggunung.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-23

Jumat, 31 Mei 2019

Sahabat Lama

Setiap orang pasti punya sahabat masa lalu, baik yang masih sambung ataupun yang sudah putus hubungan. Bisa jadi karena lost contact atau karena kesibukan masing-masing yang tak lagi sama.

Perubahan itu niscaya adanya. Meski dulu selalu bersama, ketika sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing, maka kebersamaan tersebut akan terkikis dengan seiring waktu.

Begitu juga dengan persahabatan kami, G2C. Sebuah nama yang kami pilih untuk menamai diri kami sendiri. Kami dulu dipertemukan saat naik kelas 3 SMP. Kelas yang berbeda dengan saat kelas 2 membuat kami 'mencari' lagi teman baru untuk diajak sebangku. Biasanya yang dulu saat kelas 2 sekadar kenal bisa jadi teman jalan.

Sedang kami berempat dulu entah kenapa di hari pertama masuk kelas tiba-tiba kami akrab begitu saja. Hingga setahun berjalan pun kami kompak kesana kemari berempat. Kami bercerita banyak hal, dari a hingga kembali ke a lagi. Kami pun bisa dibilang sangat usil satu sama lain saking kompaknya. Mulai dari menyembunyikan sepatu, hingga meninggalkan sendiri salah seorang teman saat pulang sekolah.

Pulang sekolah pun kami seringnya selalu bersama, naik angkot berempat, meski terkadang juga ada yang dijemput orang tuanya. Namun kami berempat selalu berusaha kompak.

Menginjak SMA, kami mulai terpisah sekolah meski ada 2 teman yang diterima di sekolah yang sama. Lama kelamaan, setelah kuliah kemudian pasca kuliah, intensitas bertemu pun semakin berkurang. Perubahan itu niscaya adanya.

Meski setidaknya setahun 2-3 kali kami masih menyempatkan bertemu, tapi memang kesibukan masing-masing membuat kami juga lebih mengakrabi teman-teman baru, yang barangkali kini lebih intensif berinteraksi.

Ah, sahabatku, semoga di tiap-tiap doa kita tetap saling menyebut satu per satu nama kita.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-22

Semangat Berbagi

Ada seorang teman halaqah lama yang sebenarnya sudah lama juga tidak berjumpa. Beliau dan suaminya memiliki usaha berjualan bakso di rumahnya. Punya teman seperti ini merupakan rejeki luar biasa, jadi tidak ragu lagi akan kehalalannya.

Selain insyaallah halal, baksonya pun enak, terkenal di kalangan mahasiswa UB, karena memang lokasi berjualannya di daerah kerto dekat kampus UB.

Dulu saat saya masih tinggal di kerto tentu suka beli baksonya, sayangnya sering tidak boleh membayar 😔. Semangat berbagi beliau luar buasa. Namun itulah yang bikin kadang saya sendiri jadi sungkan kalau beli di sana, begitu pun suami.

Paling kangen sama pangsit mie nya yang menurut saya paling pas rasanya. Perpaduan antara ayam suwir dan kerupuk pangsitnya pas sekali dengan mienya. Sayang sekarang sudah ganti dengan mie ayam yang gak kalah enaknya.

Setelah sekian lama tidak beli di sana, akhirnya kemarin sore saya beli melalui grabfood karena akan ada buka bersama di rumah dengan teman main SMP. Berharap jika order melalui grab tidak terdeteksi, eh ternyata penjual tetap saja tau siapa pembelinya. Driver datang dengan menenteng 2 kresek, 1 kresek berisi pesanan saya, 1 kresek lagi berisi bonus dari penjual, begitu kata drivernya.

"Loh, kok banyak sekali, Pak, bonusnya?"
"Katanya mbak temennya yang jual, ya?"
"Loh, memang penjual juga bisa tahu, ya, Pak, siapa pembelinya?"
"Iya, Mbak."

Masyaallah ... Beliau tetap saja seperti itu, semangat berbaginya luar biasa. Beliau tidak takut rugi ketika berbagi. Belum lagi ketika kami dulu sering diundang ke rumah beliau dan makan bakso gratis sepuasnya. Semoga selalu diberikan keberkahan untuk usahanya, ya, Mbak!

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-21

Minggu, 26 Mei 2019

Pepaya yang Dicuri

Beberapa hari yang lalu lagi-lagi hati ini sempat diliputi rasa kecewa saat melihat tiga pepaya yang mulai membesar di pohonnya tiba-tiba berkurang satu. Pagi hari masih tiga, sore sudah tinggal dua. Berarti pencuri melakukan aksi saat siang hari.

Memang hanya pepaya, buah murah yang kau bisa membelinya hanya dengan kurang dari 10 ribu rupiah. Namun jika kau menanam dan merawatnya sepenuh jiwa, rasanya ada kekecewaan yang entah. Ketika tinggal memetik hasilnya, lalu dengan mudah dia yang entah siapa mengambilnya tanpa permisi.

Pohon pepaya itu kami tanam sekitar tahun lalu. Sebuah pohon pepaya california yang suami beli benihnya di toko pertanian. Banyak benih ditebar, namun ternyata hanya dia satu yang tumbuh besar.

Dia tumbuh di lahan sempit samping rumah, pohonnya memang masih rendah, sehingga buahnya mudah dijamah. Ini adalah kedua kalinya bunga-bunganya akhirnya menjadi buah. Namun aku lagi-lagi dibuat kecewa, oleh tangan jahil yang tak mau berpikir: halalkah buah yang diambil dengan cara seperti itu?

Tahun lalu pertama kali dia berbuah, hanya satu bakal buah yang tumbuh membesar. Sembari menunggu benar-benar matang, kubiarkan dia bersemburu di dahan. Ah, tapi pagi-pagi pepaya itu hilang. Aku kecewa, menanti sesuatu berlama-lama lalu ditebas begitu saja.

Lagi-lagi aku ditegur untuk bersedekah lagi.

Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Jabir mengatakan:
“Nabi SAW bersabda: ‘Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya’.” (HR. Muslim)

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-20

Kau Tetap Lelaki yang Sama

Aku menangis dalam diam
Dalam jiwa yang mengharu
Dalam hati yang terluka

Aku sama sekali salah
Bahwa diammu bukan berarti kau tak peduli
Kau tetap lelaki yang sama
Lelaki hangat yang mencintaiku karena-Nya

Kupikir kau berubah
Karena tak ada pelukan yang menghangat

Bertahun-tahun kita bersama
Dan aku tetap saja salah duga
Kau tetap lelaki yang sama

Kau lahir di keluarga yang menjadikan pelukan bukanlah kewajiban
Lalu aku menuntutmu memelukku tiap waktu
Aku salah

Dirimu tetap menjadi lelaki yang kukenal dulu
Yang perhatiannya adalah dengan membantu pekerjaan rumah tangga
Bukan dengan bunga atau kejutan mesra

Lalu kecupmu yang begitu dalam dan seperti tak mau melepas menyadarkanku
Kau tetap lelakiku yang sama

25 Mei 2019

Seringkali dalam rumah tangga akan ada perasaan bahwa pasangan mulai berubah, rasa cinta itu mulai pudar oleh usia. Sebagai seorang istri juga sudah seharusnya menghangatkan lagi pucuk-pucuk cinta itu dalam rumah tangga. Menghidupkan lagi kehangatan seperti awal dipersatukan.

Kita tidak bisa mengubah orang menjadi seperti apa yang kita mau. Yang kita bisa adalah mengubah diri sendiri untuk bisa sesuai dengan orang lain.

Saya yang sudah menjalani 8 tahun pernikahan hingga sekarang masih sering terjadi miss komunikasi. Setiap hari kami masih harus terus belajar dan belajar mengenal pasangan.

Kadang pertengkaran kecil atau tangis juga diperlukan untuk semakin mendekatkan diri dengan pasangan. Semakin saling mencintai kekurangan dan kelebihan.

Ah istri, berubahnya suami bukan selalu berarti tak cinta lagi. Karena setiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda-beda.

#ntms
#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-19

Jumat, 24 Mei 2019

Hati Suhita: Mikul Dhuwur, Mendem Jero

Mikul dhuwur mendem jero, meninggikan kebaikan keluarga dan menutupi kekurangannya. Hal ini bisa dimaknai juga meninggikan derajat keluarga. Sebuah pepatah yang menjadi pedoman wanita Jawa dalam berkeluarga.



Begitu pula yang dilakukan Alina Suhita, tokoh utama dalam novel Hati Suhita ini. Menikah dalam perjodohan serta penolakan suami atas dirinya tak lantas membuatnya menyerah dalam bersabar. Suhita digambarkan sebagai sosok wanita pesantren penghafal Alquran yang selalu berusaha menampakkan kebaikan suaminya di hadapan semua orang meski sebenarnya yang terjadi sesungguhnya hanyalah sandiwara. Suaminya begitu dingin kepadanya.

Namun dengan kesabaran Alina Suhita dia pun mampu bertahan hingga 7 bulan pernikahan tanpa ada kehangatan. Pernikahan yang didambakan banyak orang, disangkakan banyak orang begitu harmonis nyatanya benar-benar dingin dan hambar. Ditambah dengan adanya orang ketiga di masa lalu yang semakin membuat hati Suhita hancur menghadapi kenyataan. Namun ia bisa bertahan.

Membaca novel ini membuat saya kembali merenungi serta mensyukuri pernikahan yang telah memasuki usia kesembilan tahun. Bersyukur memiliki suami yang hangat dan penuh cinta. Saya pun belajar keteguhan hati Suhita untuk selalu mikul dhuwur mendem jero, suatu hal yang saya mesti terus belajar dan belajar.

Hunna libasulakum wa'antum libasu lahum. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. (Potongan surat Al-Baqarah: 187)

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-18

Buka Bersama

Mungkin saya termasuk orang yang kuper, selama Ramadhan sudah berjalan 2/3 nya saya sama sekali tidak buka bersama di luar, baik dengan komunitas ataupun keluarga. Namun memang itulah pilihan kami selama beberapa tahun belakangan ini, selama Ramadhan kami memang lebih suka buka di rumah, baik masak sendiri atau beli jadi.

Rasanya memang beda sekali dengan dulu awal-awal menikah yang jadwal bukbernya beruntunan, atau mungkin sesekali buka di luar. Tidak, seperti tahun kemarin, tahun ini pun kami sama sekali memilih tidak buka di luar. Meski tahun ini suami sempat sekali buka di luar dengan teman kerjanya dulu.

Suami selalu mengingatkan jika buka di luar khawatir sholat keteteran, apalagi di tempat makan dengan fasilitas ibadah terbatas atau jauh dari masjid. Jika memilih sholat dulu maka biasanya pesanan akan datang terlambat ditambah belum tentu dapat tempat. Namun jika pesan dulu maka sholatnya terlambat.

Semua itu pilihan, yang penting selama bukber tidak melalaikan dari ibadah wajib maka tidak masalah. Apalagi untuk laki-laki dengan kewajibannya jamaah di masjid, jangan sampailah terlewat, bulan puasa juga, sayang banget melewatkan hidangan pahala yang berlipat ganda.

Jadi kalaupun terpaksa bukber, maka lebih baik di rumah teman atau di tempat makan yang dekat masjid.

Selamat mengoptimalkan 10 hari terakhir Ramadhan 🌸.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-17

Kamis, 23 Mei 2019

Bumi Cinta : Ujian Wanita

Dari Usamah Bin Zaid, Rasulullah Saw bersabda, “Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.” (HR. Bukhari: 5096 dan  Muslim: 2740)

Fitnah wanita adalah fitnah terbesar bagi kaum adam. Fitnah wanita ini pula yang diangkat dalam novel Kang Abik yang berjudul Bumi Cinta ini.

Membaca novel ini membuat saya mengetahui beberapa hal baru. Salah satu hal tersebut adalah fakta bahwa Rusia merupakan negara free sex dengan tingkat pengakses pornografi nomer 1 di dunia. Atas sebab itu juga Kang Abik menjadikan setting novelnya kali ini di Rusia.



Sebenarnya ini adalah novel lama, tapi saya baru membacanya sekitar 2 bulan yang lalu. Sebuah novel pemberian teman yang sedang bersih-bersih barang, hehe.

Novel ini menurut saya adalah pengejawantahan kisah Nabi Yusuf a.s dalam mempertahankan izzahnya dari godaan wanita. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Ayyas dikisahkan sedang melakukan penelitian sejarah Islam di Rusia. Namun ternyata dia melalui ujian yang sangat berat di negara free sex tersebut.

Ujian tersebut dimulai ketika dia tidak mendapatkan tempat tinggal kecuali sebuah kamar apartemen dengan 2 tetangga kamar perempuan Rusia dengan kehidupan yang bebas. Salah satu dari perempuan tersebut adalah agen mossad, dia sangat membenci Ayyas yang seorang muslim, bahkan ingin menjebak Ayyas agar tertangkap sebagai seorang teroris.

Tak cukup itu, perempuan itu juga menggoda Ayyas dengan berpakaian sangat minim dan masuk kamar Ayyas tanpa ijin. Ayyas dengan keteguhan imannya seperti halnya Nabi Yusuf a.s justru berusaha agar perempuan itu pingsan kemudian disingkirkan.

Di akhir kisah ternyata ada kenyataan lain yang membuat perempuan agen mossad itu berubah 180 derajat. Perubahan itu pun mengancam jiwanya.

Banyak hikmah yang bisa saya ambil dari novel ini, bahwa hidayah itu hanya milik Allah. Tak akan ada yang pernah tau akhir hidup seseorang. Bisa jadi orang yang dulunya atheis dan berkubang dosa akhir hidupnya justru dalam nikmat iman dan Islam.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-16

Rabu, 22 Mei 2019

Ngompol di Masjid

Ada yang pernah mengalami nggak anak ngompol di masjid? Hu, pasti panik sekali ya. Belum lagi harus ngepel dan nyuci karpetnya. Kalau ditanya balik apakah saya pernah mengalami? Jawabnya iya, tapi pas anak sedang tidak dengan saya.

Weekend kemarin tiga krucil ikut eyang -seperti biasanya. Entahlah apa penyebabnya si Fara yang sudah lulus toilet training kurang lebih satu tahun tiba-tiba mengompol di masjid saat diajak eyang tarawih. Padahal menurut eyang sebelum berangkat sudah dipipiskan dulu. Namun saya tidak tahu si anak baru mengkonsumsi apa saja, bisa jadi makanan atau minuman yang membuat sering berkemih seperti semangka atau teh.

Mengajak anak balita ke masjid memang membawa resiko tersendiri. Kalau saya pribadi jadi nggak khusyuk, apalagi kalau si anak keliling masjid, jadi kepikiran mereka kemana dan apakah ada kejadian tidak diinginkan terjadi?

Lalu daripada tidak khusyuk, maka saya memutuskan tidak sholat tarawih dulu di masjid mengajak anak. Tahun lalu saya sempat mencoba di awal Ramadhan mengajak mereka tarawih, eh mereka heboh berdua wira-wiri dari shof saya ke shof ayah. Ayahnya sujud mereka 'beraksi' menunggangi. Karena itulah saya memilih tarawih di rumah. Bukankah wanita juga lebih utama sholat di rumahnya daripada di masjid?

Suami sendiri setelah kejadian itu tidak mengijinkan saya tarawih di masjid jika anak-anak tidak sedang di eyangnya. Saya pun yakin semua ada masanya, seperti halnya Jundi juga akhirnya ada masanya dia bisa diajak ke masjid setelah bertahun-tahun saya harus menahan diri di rumah. Oke, semua ada masanya. Yang salah adalah yang tidak sholat.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-15

Minggu, 19 Mei 2019

Berhias untuk Suami

Sebenarnya dulu sudah pernah menulis tentang ini disini. Sekarang ingin menulis lagi gara-gara tadi pagi membaca sebuah postingan seorang suami yang curhat mengeluhkan kondisi istrinya yang tidak mau dandan padahal sudah diminta baik-baik oleh suaminya agar mau dandan dan merawat tubuh. Sayang istrinya tidak paham bahwa itu adalah kewajibannya, tetapi istri justru menyalahkan suami tidak mau menerima dia apa adanya.

Hai para istri, suamimu itu makhluk visual, maka manjakanlah matanya sesuai apa yang diinginkannya. Selama itu tidak melanggar syariat, why not? Berdandan untuk suami itu berpahala lho.

Yang perlu menjadi catatan adalah berdandanlah sesuai apa yang suami sukai. Bisa jadi suami A suka rambut panjang, tapi suami B justru suka rambut pendek. Semua harus dikomunikasikan secara produktif. Kalau saya sih biasanya ijin dulu, misal potong rambut boleh nggak? Baju ini bagus nggak? Suami saya sih type yang semua oke aja, hanya terkadang dikomentari. Komentar itulah yang saya simpan dan menjadi panduan saya dalam menghias diri.

Jadi para istri, selama ini sudah dandan sesuai yang suami maui belum?



Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik isteri adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika engkau menyuruhnya, serta menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari ‘Abdullah bin Salam. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 3299).

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-14