Minggu, 28 April 2013

Dari Pembalut Herbal Beralih ke Menspad



Menspad, mungkin bagi sebagian besar orang kata ini sedikit asing. Tapi dengan kata pembalut atau softex tentu semua tidak asing lagi, terutama bagi wanita, yang tiap bulan menggunakan benda itu. Rutin. Bicara soal pembalut, semua pasti udah sering dengar tentang bahaya pembalut, dioxin, klorin, dan lain sebagainya. Saya sendiri sebagai orang kimia sebenarnya tidak ingin mengulas bahaya pembalut dari sisi tersebut, tapi bahaya pembalut jika menumpuk terus menjadi sampah. Bayangkan saja, 1 wanita saja tiap bulannya jika memakai pembalut sekali pakai maka paling tidak menghasilkan sampah 1 bungkus pembalut, itu hanya 1 bulan, kalau sampai menopause berapa banyak sampah yang dihasilkan? Apalagi sampah pembalut termasuk sampah yang susah terdegradasi.

Masa-masa kuliah, dengan alasan kesehatan aku memakai pembalut herbal yang harganya cukup melangit, 1 bungkus isi 10 lembar harga 32000,

Senin, 22 April 2013

MATI ITU JUGA PUNYA YANG MUDA




Mati itu juga punya yang muda. Agaknya tulisan ini tidak terlalu menarik untuk dibaca. Semua juga sudah tahu kalau mati itu juga punya yang muda. Tulisan ini cuma untuk mengingatkan diri sendiri bahwa umur manusia tidak ada yang mengetahui. Entah nanti malam, entah besok pagi, kita tidak tahu kapankah giliran kita akan merasakan mati.
Sekitar tiga hari yang lalu ada sms masuk ke hp ku, kabar bahwa seseorang telah meninggal dunia. Nampak dari kalimat ‘innalillahi wa inna ilaihi roji’un’ di awal kalimatnya. Tentunya sering sekali mendapat sms kabar duka seperti itu, biasanya ayah dari si fulan atau ibu dari si fulan. Namun sms itu berbeda, tidak ada embel-embel kata ayah atau ibu, tapi langsung pada namanya, Frengki Malistio. Seorang kakak tingkatku di kimia. Meninggal karena kecelakaan saat perjalanan dari Malang ke Sumenep –rumahnya-.
Membaca sms itu membuat aku jadi teringat, bahwa mati bukan giliran yang tua-tua saja. Mati juga milik yang muda-muda. Tanpa disadari seringkali jika orang mati di usia tua maka kita akan bersikap biasa saja. Wajar kan sudah tua mati. Tapi jika kita mendengar orang mati di usia masih belia, tentu kita langsung akan bertanya pada pembawa berita, mengapa.
Kejadian itu juga aku alami saat aku masih duduk di semester3 perkuliahan, sekitar tahun 2009. Saat itu pagi-pagi ada sms masuk ke hpku. Lagi-lagi sms berita duka. Saat membaca sekilas aku biasa saja, mengira bahwa di depan nama teman SMAku itu ada embel-embel ayah dari atau ibu dari. Maka sebelum usai membaca langsung kututup sms itu. Kuliahku akan segera dimulai. Namun ternyata aku baru menyadari saat ada lagi teman dekatku mengirim sms ke aku menanyakan tentang hal tersebut. Aku kaget bukan main, kubaca lagi pelan-pelan sms itu. Benar. Tidak ada embel-embel ayah dari atau ibu dari di depan nama Bob –teman SMAku itu-. Lagi-lagi juga karena kecelakaan.
Namun paling mengejutkan adalah saat beberapa bulan lalu hpku berbunyi tanda ada panggilan masuk. Wanda unair. Temanku saat jadi pengurus bapewil iv ikahimki ini tidak biasanya menelponku di malam hari. ‘Mbak, samen wes ngerti? Mbak Ike mbak, mbak ike’. ‘Emang kenopo Ike?’ tanyaku lugu saat itu. ‘Mbak Ike tadi sore kecelakaan, meninggal’. ‘Hah?’ nggak nyangka, bener-bener aku nggak nyangka. Dan setelah ngobrol agak lama (nggak sampai 5 menit) telpon itu diputus. Ternyata sudah ada sms ke hpku, dari nomer lain. Tentu memberi kabar yang sama. Sontak langsung kuforwardkan sms itu ke beberapa teman pengurus ikahimki lain yang sekiranya belum tahu tentang kabar tersebut. Semua kaget. Umur manusia memang hanya Allah yang tahu.
Mengenang Ike, aku punya beberapa kenangan dia. Aku ingat, perkenalanku pertama dengan dia adalah saat aku menjadi kandidat korwil iv ikahimki. Waktu itu dia mengajukan pertanyaan untuk beberapa calon. Termasuk aku. Perkenalan yang cukup singkat, tapi membuat kita cukup akrab saat berada di munas ikahimki di Banjarbaru. Karena kedaerahan –juga karena anggota munas ceweknya cuma 6 gelintir dari sekitar 60 peserta- kami berdua jadi cukup akrab. Namun yang paling aku ingat adalah saat terakhir bertemu dia. Saat dia menjenguk Jundi yang baru terlahir dari rahimku. Aku sangat ingat, dia menggendong Jundi dan berkata, ’Aku kok gak dipipisi se gie…padahal aku pengen ndang ketularan’. Mitos jawa, dipipisi berarti akan cepat tertular punya anak juga. ‘Yo moga pas 22 November kami nikah ke, hehe. Kan aku nikahnya pas tanggal lahirmu, jadi kamu nikahnya pas tanggal lahirku’. Tapi ternyata belum sampai tanggal itu Ike sudah tiada. Dia sudah berpulang sebelum bersatu dengan jodohnya dalam pernikahan.
Mungkin hanya kebetulan, ketiga orang yang kukenal meninggal di usia muda karena kecelakaan. Mungkin di luaran sana banyak juga yang akibat sakit parah atau mungkin tanpa sebab –karena memang sudah waktunya-. Buat yang masih diberi kesempatan hidup, fastabiqul khoirot yuk…
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, … (Q.S. An-nisaa : 78)

                Malang, 21 April 2013
Bundajundi.blogspot.com

Sabtu, 13 April 2013

Dan aku memilih clodi untuk kesehatan Jundi



Seperti bayi yang baru lahir pada umumnya, bayi Jundi juga memakai popok kain tradisional. Bagi sebagian besar orang tentu popok jenis ini sangat ribet. Pertama, tiap kali si kecil pipis harus mengganti. Yang kedua cucian banyak, karena bayi yang baru lahir intensitas buang air kecilnya sangat sering. Tak hanya buang air kecilnya, buang air besarnya pun bisa jadi sangat sering (khusus untuk bayi ASIX karena sifat ASI sebagai pencahar). Keribetan yang kedua ini tentu membuat capek si Ayah, terutama jika harus mencuci banyak popok dengan pup yang lengket di atasnya. Dari awal kelahiran Jundi hingga sekarang (Jundi usia 9m23d) urusan cuci mencuci popok menjadi urusan ayah.

Rabu, 10 April 2013

Jundi nggak takut gelap bunda…



Dua hari yang lalu di rumahku mati listrik di malam hari, cukup lama, hingga membuat Jundi yang akan pergi tidur terbangun lagi. Gelap. Karena si ayah pergi ‘hajatan’ di tempat tetangga, maka jadilah aku dan Jundi berdua di kamar, ditemani 1 buah lilin yang menyala. Pintu kamar memang kubiarkan terbuka, agar cahaya lilin dari dalam kamar bisa menerangi luar kamar. Seperti biasanya Jundi bermain kesana kemari sendiri di dalam kamar, buka lemari, mengobrak abrik isinya, atau mainan alas lantai. Tapi mungkin karena bosan si jagoanku celingak-celinguk cari mainan baru. Dia pun pergi keluar kamar yang gelap gulita. Aku biarkan saja, hanya memanggilnya beberapa kali, “Sayang, ngapain disana?”. Tapi yang dipanggil nggak juga kembali, cukup lama, dan aku juga cukup capek untuk menjemputnya, jadi kubiarkan saja :D.