Jumat, 19 Oktober 2012

Tentang memandikan bayi



Tentang memandikan bayi, aku ada sedikit cerita untuk dibagi. Seperti banyak cerita ibu-ibu baru ataupun lama yang kudengar, bab ini merupakan bab yang cukup susah untuk dilakukan. Tidak semua Ibu mampu, walaupun harusnya secara naluriah dia harusnya mampu. Tapi menurutku hal ini bukan masalah mampu atau tidak mampu, tapi berani atau tidak berani.

Memandikan bayi menjadi rumit karena sabun bersifat licin. Setiap orang juga pasti akan ada ketakutan jika si bayi saat dimandikan luput dari cengkeraman tangan. Ditambah ukuran bayi yang masih mini membuat kerumitan itu semakin sempurna.



Setelah kelahiran bayi tentu hal ini menjadi momok bagi sebagian besar Ibu, terutama Ibu baru. Tali pusar yang belum lepas membuat beberapa Ibu tidak berani memandikan bayinya sendiri. Begitu juga dengan aku, Ibu baru yang bahkan untuk menggendong bayi pun aku belum berpengalaman, apalagi untuk memandikan. Ibuku, si Eyang baru yang pernah memiliki 3 anak itu pun mengaku tidak berani, sudah lupa, begitu katanya. Dan jadilah mbak perawat dari Puskesmas yang tiap pagi dan sore harus ke rumah guna memandikan bayiku, hingga tali pusarnya lepas.

Waktu sepekan terasa berjalan begitu cepat, Selasa pagi itu pun tali pusar bayiku lepas. Terhitung 6 hari jika dihitung dari kelahirannya hari Rabu sore. Walau tugas mbak perawat memandikan sudah usai, namun Ibuku meminta sore harinya untuk masih memandikan bayiku. Ini artinya inilah saat terakhir aku belajar memandikan, mengikuti gerak-gerik mbak perawat dari awal melepas baju hingga memakaikan bedong dengan baik. Esok hari mbak perawat tidak akan pergi ke rumah Ibuku lagi untuk memandikan bayiku.

Hari pertama tanpa mbak perawat, Ibuku yang berperan memandikan bayiku di pagi hari. Dan sore hari giliran Ibu mertuaku yang turut menginap di rumah Ibuku untuk menyambut cucunya yang keempat. Semua berjalan begitu saja tanpa aku ikut memikirkan. Sebelum bayiku mandi, aku sudah masuk kamar mandi, dan begitu aku selesai mandi bayiku telah siap untuk kususui.

Hingga hari itupun tiba, saat ibu mertuaku harus pulang ke Pasuruan, dan Ibuku sedang bekerja di kantor. Aku harus memandikan bayiku sendiri. Bayiku yang baru berusia 8 hari bagiku masih terlalu mungil untuk bisa kumandikan sendiri. Tapi mau tak mau aku harus mau. Siapa lagi yang akan memandikan dia? Adikku yang baru duduk di SMA? Rasanya tidak mungkin. Atau suamiku? Atau ayahku? Apalagi adik laki-lakiku yang baru duduk di SD. Semua orang yang ada di rumah rasanya tidak mungkin, hanya aku yang berpeluang paling besar. Aku Ibu si bayi, harusnya aku punya naluri untuk memandikan si bayi.

Dan jadilah saat pertama itu begitu menegangkan. Namun tak seperti yang lain, aku punya peraturan sendiri. Bak mandi yang berisi air hangat harus dibawa ke dalam kamar. Pikirku hal itu tidak akan menyulitkanku saat mengangkat bayi licin bersabun ke dalam bak mandi. Begitu pula saat selesai memandikan bayi.
Sebelum si bayi kutelanjangi, semua perlengkapan pakaiannya telah kutata dengan rapi, mulai dari lapisan paling bawah bedong, baju panjang, popok, dan terakhir gurita, tak lupa sarung tangan dan kakinya. Setelah semua rampung, giliran bayiku mulai kutelanjangi, kucopoti semua kain yang membungkus tubuh mungil itu, lalu perlahan kusabuni tubuhnya pelan-pelan. Dan bayiku pintar, tidak seperti saat masih bertali pusar, dia sekarang tidak lagi menangis saat dimandikan. Setelah semua kurasa bersih, kuangkat tubuh mungil dan licin itu ke dalam bak mandi, kusiramkan air dalam bak perlahan ke semua tubuhnya. Tangan kiriku memegang lehernya, dan tangan kanan yang menyiramkan air hangat ke tubuhnya. Geraknya yang cukup lincah membuat aku harus extra hati-hati, ditambah tangisannya saat dimandikan, mungkin luka bekas tali pusarnya masih sakit jika terkena air. Namun sampai terbedong rapi semua berjalan lancar, aku sukses di kali pertama memandikan bayiku.

Di hari ke sepuluh, aku dan suami telah memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal kami sendiri, karena di hari ke empat belas telah kami persiapkan untuk menyelenggarakan aqiqah di rumah kami sendiri. Hari pertama menjadi ibu di rumah sendiri si eyang dan si tetet –adikku perempuan- memilih untuk menginap di rumahku, mereka masih ingin menemani Jundi, dan tentunya membantuku beres-beres rumah yang sekitar 2 pekan tidak dihuni.

Hari kedua tantangan sebenarnya untuk kami berdua dimulai. Sebagai orang tua baru tentu kami masih belum lihai dalam mengatasi permasalahan bayi, dan di hari pertama kami hanya bertiga di rumah menjadi hal baru yang amazing. Dengan tubuhku yang belum sempurna pulih aku harus berbagi tugas dengan si ayah. Dan tentunya aku lah yang bertugas memandikan si ganteng jundi.

Hari demi hari aku merasa makin lihai memandikan si jundi, dia sudah tidak lagi menangis ketika kumandikan, namun anehnya justru saat diangkat dari air dia menangis, mungkin kedinginan. Dan saat handuk sudah ditelungkupkan dia pun kembali diam. Berbeda dengan dia kini yang sudah semakin besar, jika dimandikan dia selalu tertawa-tawa, bahagia.

14 – 19 Oktober 2012
*masih ada lanjutannya :)

0 komentar:

Posting Komentar