Senin, 22 Oktober 2012

Tentang ASI ekslusif



Mengenai ASI ekslusif, saat ini rupanya Ibu-ibu banyak yang kurang peduli. ASI ekslusif bermakna bahwa asupan yang diberikan kepada bayi hanyalah ASI, tidak ada yang lain, tidak sufor dan tidak pula yang lain. Menurut anjuran WHO, ASI ekslusif diberikan pada bayi hingga usia 6 bulan. Setelah itu bayi baru bisa diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Data di AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang membuatku memelototkan mata adalah bahwa di Indonesia Ibu yang memberikan ASInya secara ekslusif kepada bayinya hanya sekitar 15,6%. Sedangkan di propinsiku sendiri, Jawa Timur, hanya sekitar 10,5% bayi yang mendapatkan ASI secara ekslusif. Kesadaran akan pentingnya ASI di Indonesia memang menyedihkan, padahal ASI itu “hak” anak yang harus diberikan ibu. Bayi yang baru lahir memang belum bisa menuntut haknya sendiri, sehingga banyak orang tua justru mengabaikan kewajibannya untuk memberikan ASI kepada anaknya secara ekslusif.


Beberapa Ibu mungkin memang memiliki produksi ASI yang sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi. Menurutku tetap saja itu semua hanya sugesti, semakin kita stress semakin ASI tidak keluar. Padahal apabila kita melihat di jaman dahulu, susu formula belum ada seperti sekarang, dan Ibu-ibu jaman dulu tetap bisa survive untuk memberikan ASI pada anaknya. Mungkin Ibu-ibu jaman sekarang telah terdoktrin iklan-iklan susu formula di tv yang menurut saya sangat tidak pada tempatnya. Jika jaman dulu mungkin ibu-ibu bisa menggunakan tajin, tapi saya rasa hanya sedikit yang diberikan, tidak seperti pemberian susu formula yang sepertinya benar-benar menggantikan peran ASI untuk kehidupan bayi.

Saat ini pemberian ASI secara ekslusif yang terpenting adalah adanya dukungan dari suami atau ayah si bayi. Menurut AIMI dukungan ayah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemberian asi secara ekslusif. Menurut penelitian, 98% ibu berhasil memberi asi ekslusif dengan dukungan suami, sedangkan ibu yang tidak didukung suami hanya 23% yang berhasil memberi asi secara ekslusif. Jadi proses menyusui bukan hanya urusan anak dengan ibu lalu ayah tidak peduli, ayah justru berperan sangat penting pada proses ini.

Dengan dukungan suami yang aku dapatkan, aku berhasil memberikan ASIku secara ekslusif kepada Jundi hingga dia berusia 4 bulan sekarang ini. Namun ini bukan hal yang mudah semudah membalikkan tangan. Seperti yang sudah aku ceritakan di tulisanku sebelumnya, anakku sempat meneguk 90 mL susu formula di saat awal-awal kelahirannya. Aku menyesali hal tersebut, namun yang telah terjadi karena kekurangsabaran itu bisa menjadi pelajaran jika nanti anakku yang kedua terlahir, aamiin.

Menginjak usia satu bulan kelahran Jundi, godaan pemberian susu formula kembali terjadi, aku yang sudah akan usai dari masa nifas ingin menunaikan ibadah puasa Ramadhan yang saat itu tinggal setengah jalan. Banyak orang berkata bahwa ASI Ibu yang berpuasa rasanya tidak enak, basi, membuat bayi sakit perut, dan lain sebagainya. Namun kembali aku beruntung karena bertemu dengan komunitas peduli ASI. Niat untuk memberikan susu formula di saat aku puasa akhirnya tidak pernah terjadi. Di hari pertama aku puasa aku mencoba untuk tetap ngASI secara ekslusif, dan hasilnya aku kuat hingga beduk maghrib. Alhamdulillah hingga akhir Ramadhan puasaku tetap bisa penuh dan Jundi juga tetap bisa penuh meneguk ASIku, tanpa ada keluhan seperti Jundi diare dan lain-lain. Di saat seperti ini dukungan suamilah yang terpenting, terutama untuk mematahkan mitos-mitos yang tidak masuk di akal dari orang-orang di sekitarku.

Pasca hari raya idul fitri adalah masa-masanya aku harus kembali berjuang untuk segera menyelesaikan skripsiku. Aku akan sering meninggalkan Jundi dengan ayah atau eyangnya. Masa-masa ini adalah masa yang cukup berat untukku. Harus merawat Jundi yang masih butuh perhatian 24 jam, mengerjakan revisian skripsi serta mempersiapkan ujian dan semua tetek bengeknya, belum lagi harus tetap mengurus rumah mulai dari masak sampai bersih-bersih. Namun ternyata semua kegiatan yang full itu belum cukup, aku juga masih harus mempersiapkan ASIP (ASI Perah) untuk Jundi ketika akan kutinggal ke kampus untuk menemui dosen.

Dalam tekanan deadline skripsi yang semakin dekat, jujur aku cukup dibuat penat, apalagi dalam keadaan mengantuk tiap pagi aku masih harus memompa ASI untuk Jundi. Terkadang saat memompa air mata ini menetes, ASI yang keluar tidak cukup banyak. Mungkin hal ini juga terjadi akibat tekanan yang aku rasakan. Belum lagi beberapa kali saat memerah dalam keadaan ngantuk botol ASIP yang sudah terisi setengah penuh harus terguling dan membuat ASI yang sudah tertampung harus terbuang begitu saja. Menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan. Dan aku kembali beruntung, suamiku terus mendukung, mensupportku, menguatkanku, karena sesungguhnya aku mampu.

Seorang Ibu menyusui juga memiliki ‘derita’ sendiri di saat harus sedikit waktu berjauhan dengan sang bayi. Walau urusan penyediaan ASIP telah bisa kulewati, namun tetap saja tiap kali aku meninggalkan Jundi rasa sakit menggerogoti dadaku. Produksi yang terus menerus membuatnya penuh dan terasa sakit jika tidak dikeluarkan. Paling parah terjadi saat aku wisuda kemarin, dari pagi aku sudah harus ke kampus hingga siang. Dan hal ini tidak saja membuat dadaku sakit, tapi juga membuat kebaya, kerudung, serta jubah hitam wisudaku basah, ASIku merembes walau aku telah mengenakan breastpad.

Tapi semua itu telah usai, aku kini bisa menjaga Jundi dan mencurahkan perhatianku penuh pada rumah tanggaku, dan tentu saja ASI ekslusif akan aku berikan pada Jundi hingga dia cukup umur untuk diberi MP-ASI.

22 Oktober 2012
10.55
Ditulis dengan batuk yang tak kunjung usai -_-

0 komentar:

Posting Komentar