Sabtu, 20 Oktober 2012

Tentang memandikan bayi part 2



“Apa? Dimandikan juga? Nggak mau, pokoknya aku nggak mau anakku dimandikan orang lain…” si mbak UH tiba-tiba menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana menitipkan anak ke sebuah TPA jika nanti cuti melahirkannya telah habis.

“ Ya sudah, nggak usah ngajar aja kamu!” suaminya pun menyahut.

Mbak UH yang bekerja sebagai dosen saat ini memang tengah hamil tua, anak pertama. Obrolan itu sempat tercipta saat keluarga kami pergi bersilaturahim ke rumah mereka. Saat itu kami sedang saling bercerita mengenai TPA, Tempat Penitipan Anak. Mbak UH dan suaminya MZ sama-sama bekerja sebagai tenaga pengajar yang notabene setiap hari harus meluangkan waktu pergi ke sekolah. Wacana mengenai bagaimana nantinya anak pertama mereka tiba-tiba tertuangkan.


Cuti melahirkan yang hanya dijatah 2 bulan, membuat keluarga ini nantinya harus menitipkan anaknya ke TPA jika nanti si Ibu sudah harus pergi mengajar. Ditambah lagi kedua pasangan ini sama-sama perantau, jadi orang tua mereka berdua sama-sama tidak berada di Malang.

TPA saat ini yang telah banyak ddirikan dimana-mana memang merupakan satu solusi yang tepat bagi keluarga yang suami istri sama-sama bekerja. Namun dalam kasus ini si mbak UH baru tahu jika salah satu pelayanan di TPA adalah turut memandikan bayi, sehingga saat di ambil ibunya pulang kerja bayi itu telah bersih dari kotoran seharian. Hal inilah yang menarik, mbak UH tidak mau anaknya dimandikan orang lain –orang asing-.

Aku yang notabene tidak terlalu mengerti tentang efek psikologis dari memandikan bayi tentunya tidak terlalu mempermasalahkan jika bayiku dimandikan orang lain. Tapi ternyata dari kejadian di rumah pasangan itu aku baru tahu bahwa, moment memandikan bayi merupakan moment yang cukup penting agar terjadi bonding yang baik antara si Ibu dengan bayinya. Jika kuingat-ingat, hal tersebut memang benar adanya, setiap kali aku memandikan bayiku, si kecil Jundi selalu menatapku dari mulai aku menyabuninya sampai selesai aku menghandukinya. Kalau kata orang Jawa, si anak namatno wajahe Ibue, seperti ketika si Ibu menyusui anaknya.

Aku pun cukup bersyukur bahwa anakku dimandikan ‘orang asing’ hanya ketika 6 hari pertama di kehidupannya, saat pandangan matanya belum sempurna. Setelah itu orang lain selain aku mungkin hanya Ibuku, mertuaku, budheku, kakak iparku yang pernah memandikan bayiku, itu pun bisa dihitung dengan jari, selebihnya hanya aku sampai saat ini yang memandikan bayiku.

Barangkali jika masih saudara tidak menjadi terlalu masalah jika sekali dua kali ikut memandikan bayiku, menurutku itu adalah berbagi kebahagiaan, seperti Ibuku yang sering meminta kesempatan memandikan bayiku saat Ibuku sedang berada di rumahku ketika waktunya si Jundi mandi. Kata Ibuku, “Kalau kamu kan sudah tuwuk setiap hari mandikan, lhah Ibu kan nggak tiap hari”.

Kembali lagi bahwa pengetahuan memang memiliki peranan yang cukup besar dalam membesarkan bayi, karena kurangnya ilmu membuat orang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk buah hati mereka. Hal ini seperti beberapa orang di sekitar saya, hanya sebagai contoh saja.  Teman SMA saya si SR sampai sekarang ‘belum berani’ memandikan bayinya sendiri, padahal usianya hanya berjarak 1 bulan dari Jundi –lebih tua Jundi-. Setiap hari Ibunya yang memandikan bayinya, entah karena telah bergantung atau tidak mau belajar, ataupun karena dia memang tinggal serumah dengan Ibunya, sehingga dia tidak ada istilah kepepet harus bisa.

Ada lagi kisah Ibu yang telah melahirkan anaknya yang kedua. Jika dibandingkan denganku yang baru memiliki anak pertama, tentunya Ibu itu lebih berpengalaman dalam memandikan bayi daripada aku. Namun yang terjadi dia tidak berani dan tidak pernah memandikan sendiri anaknya hingga usia anaknya sekitar 1,5 bulan, entah karena alasan apa. Beberapa saudaraku pun begitu, ternyata banyak dari mereka yang saat memiliki anak tidak pernah memandikan anaknya sendiri, bergantung pada Ibu mereka.

Untuk semua calon Ibu, yuk belajar memandikan bayi kita sendiri, toh semua itu hanya butuh naluri, dan semua Ibu pasti punya naluri untuk merawat anaknya sendiri. Semoga bermanfaat ^^

20 Oktober 2012
5.42
Menulis ini dengan hidung ‘masih’ mbeler :D

0 komentar:

Posting Komentar