Kamis, 22 Februari 2018

Stop Mengeluh!

Hari Ahad kemarin saya dan suami sarapan di sebuah warung lama yang menjadikan rawon sebagai menu andalan. Kali ini memang hanya berdua karena ada agenda yang tidak memungkinkan jika membawa 3 anak. Saat kami datang bangku sudah penuh semua dengan para pelanggan yang sebagian besar belum mendapat nasi yang dipesan. Namun alhamdulillah masih ada sisa 2 kursi yang bisa saya dan suami duduki meski mejanya harus gabung dengan pengunjung yang lain.

Singkat cerita saat masih menunggu giliran, yang satu meja dengan kami selesai makan, tapi kami belum juga mendapat giliran (banyak yang bungkus euy). Tiba-tiba datang seorang ibu dengan suami dan anaknya yang saya taksir berusia 20 tahunan. Mereka duduk semeja dengan kami, karena tidak ada bangku lain yang kosong.

Sekilas saya melihat si anak memiliki gelagat berbeda dari cara melihat dan duduk. Tiba-tiba dia mengambil dengan sigap tempe goreng yang ada di meja, sekejap habis, pun perkedel dan tempe langsung dilalapnya lagi dengan gerak menyuap yang tidak biasa. Lalu saya dengar ibunya berbicara, "Lapar ya," sambil dialihkan nampan yang berisi tempe dari hadapan anaknya.

Menunggu lama, meja di sebelah akhirnya kosong, tapi saya belum juga dapat giliran. Si ibu bicara ke saya menawarkan agar saya yang pindah ke meja sebelah, dan kami pun akhirnya pindah berbarengan dengan nasi pesanan datang, rawon yang masih panas dengan empal gepuk yang khas dari warung ini.

Bismillah saya dan suami mulai menyendok rawon kami masing-masing sambil saya melihat ke arah depan tepat ke meja tempat sepasang suami istri dan anaknya tadi. Subhanallah, hati saya meleleh, ingin menangis tapi saya mencoba menegarkan hati. Saya melihat si ibu dengan telaten menyuapi anaknya sesendok demi sesendok. Anaknya pun makan dengan sangat lahap, dalam sekejap piringnya kosong. Saya lihat bapaknya langsung mengangsurkan nasinya ke piring anaknya, masyaallah.

Bagi orang lain barangkali ini pemandangan yang biasa saja, tapi bagi saya pemandangan ini begitu luar biasa. Namun saya tahan lisan saya untuk bertanya, tidak semua orang bisa dengan mudah berbagi tentang apa yang dia alami.

Selepas saya bayar, saya dan suami keluar warung dan melihat si anak dituntun ke mobil berplat merah luar kota. Ah ternyata tamu jauh. Masyaallah.

Begitu mudahnya Allah menegur saya. Baru berselang hari anak kedua saya keluar dari rumah sakit. Masih terasa bagaimana capeknya meladeni anak sakit hingga harus menginap di rumah sakit. Lalu Allah langsung mengingatkan saya, apa yang saya alami belum ada apa-apanya.

Semoga semua ibu yang diberi anak spesial menjadikannya ladang pahala lillah.

Bunda Jundi
21 Februari 2018
23.26

0 komentar:

Posting Komentar