Sabtu, 02 Desember 2017

Menyapih dengan cinta? (1)


Aish, ini cita-cita saya dulu semenjak menyusui anak pertama, namun ternyata prakteknya gak semudah teorinya (ini bagi saya lho ya). Meski sangu sabar, sabar, dan sabar yang banyak. Dan juga konsistensi serta komitmen yang kuat baik dari bundanya sendiri ataupun dari ayahnya.

Menyapih anak pertama sudah mencoba sounding dengan beberapa kalimat sounding yang pernah saya baca, tapi beberapa bulan si doski malah semakin nempel. Jadilah saya curhat ke eyangnya dan berakhir dengan penyapihan yang cukup menyakitkan, baik bagi saya ataupun bagi dia.

Waktu itu usia Jundi 23 bulan Masehi (tapi hitungan Hijriyah sepertinya sudah 2 tahun), namun sudah mendekati bulan Ramadhan, saya pengennya Ramadhan kali itu sudah bukan jadi busui lagi. Si eyang langsung mengusulkan agar mas Jundi direlakan untuk menginap saja malam itu di rumah eyang tanpa bunda, dan bundanya yang sudah mulai menyerah pasrah, manut begitu saja. Meski ternyata malamnya saya tetiba melow nangis sesenggukan ke suami, 'Bagaimana Jundi nanti? Apakah tadi benar-benar sesi terakhir saya menyusuinya? Ah tidak!' rasanya justru saya yang belum siap dengan kondisi ini.

Esoknya saya dan suami mengunjungi mas Jundi meski dilarang-larang oleh eyangnya. Dada saya bengkak bukan main, sakit sekali rasanya dengan perubahan drastis ini. Ditambah si eyang mewanti-wanti, 'Jangan diberikan!'. Alhasil saya menolak dia, dan akhirnya dia marah ke saya, lalu dia bahkan tidak mau menyapa saya, aaaak sakit mak!

Sungguh, saya yang kurang sekali ilmunya waktu itu. Saya pun lupa proses detailnya (3,5 tahun yang lalu tapi baru sekarang ditulis), akhirnya entah hari ke berapa saya memberikan dia nenen dengan intensitas sehari sekali dan durasi amat pendek. Lalu entah hari ke berapanya lagi dia minta lagi, saya berikan, namun ternyata air susunya telah kering, dan yah dia marah dan sejak itu dia tidak pernah meminta lagi menyusu.

Ah, kalau diingat-ingat lagi rasanya ingin memeluk Jundi dan meminta maaf lagi atas cerobohnya saya. Beberapa waktu terakhir pernah saya menanyakan tentang hal ini, 'Mas Jundi dulu kenapa kok marah pas gak boleh mimik bunda lagi?'
'Lha emang, mimik bunda itu kan enak, jundi jadi sedih gak boleh mimik bunda,'
Ya Allah nak, maaf ya, udah long long ago tapi dikau masih ingat sensasinya, aih. Lalu kupeluk dia sambil menciuminya, 'Maafin bunda ya nak, kalau sekarang jundi mau mimik bunda lagi?'
'Yek gak mau, mimik bunda kan buat adik, jundi jijik, hi'

Ah, love you my son, 💝.

Agie Botianovi
Bunda Jundi
2 Desember 2017
Dini hari

Related Posts:

  • Komunikasi Produktif #7Saya dan suami bisa dibilang sama-sama suka baca buku. Dulu saat awal menikah ternyata banyak koleksi bukunya dan bukuku sama, sehingga kami memilih menyumbangkan koleksi yang sama tersebut ke perpustakaan milik teman. Membac… Read More
  • Komunikasi Produktif #5Kemarin saya sukses mewek terharu dan beberapa kali meneteskan air mata yang saya tahan-tahan karena saya lihat kiri kanan depan belakang gak ada ibu-ibu yang cengeng seperti saya. Entahlah, saat acara haflah level 2 Raudhatu… Read More
  • Komunikasi Produktif #6Senin dini hari, Mas Jundi tiba-tiba menangis mengeluhkan kaki dan tangannya gatal, sakit katanya. Berjeritan dia mengeluhkan keadaan dirinya. Entah digigit nyamuk entah semut entah apa, tapi memang di dada, kaki, tangannya … Read More
  • Komunikasi Produktif #4Jadi ternyata menurut Albert Mehrabian suara yang keluar saat kita berkomunikasi itu cuma berpengaruh 7% terhadap lawan bicara, sedang sisanya 38% adalah intonasi dan 55% bahasa tubuh. Dan kalau saya amati memang begitu adany… Read More
  • Komunikasi Produktif #8Dalam berkomunikasi bahasa tubuh memegang peranan 53% untuk tersampaikannya pesan yang dibawa agar tidak sampai terjadi kesalahpahaman. Dalam mengajarkan bahasa tubuh ke anak-anak ternyata saya cukup terbantu dengan buku dari… Read More

0 komentar:

Posting Komentar