Jumat, 29 Juni 2018

Umroh Backpacker (Jeddah-Madinah)

Akhirnya kepending lama seri tulisan catatan perjalanan saya kemarin karena pas Ramadhan saya fokus ke tulisan-tulisan 'wajib' saja.

Sampai di Jeddah saya sudah membayangkan bakal ada pertanyaan-pertanyaan terutama tentang keberadaan mahram (ada yang bilang seperti ini). Namun ternyata tidak sama sekali, di imigrasi hanya diminta sidik jari dan foto saja lalu paspor distamp.

Namun, bayangan saya untuk sebuah bandara internasional ternyata jauh. Dan ternyata ini memang bandara khusus haji dan umroh, ya gitu deh. Ada celetukan dari teman rombongan, 'lebih mirip terminal bus daripada sebuah bandara' ๐Ÿ˜ช.

Rasa kurang nyaman saya bertambah ketika saya ingin ke toilet. Toiletnya wow! Jika sebelumnya saya ke toilet sebuah bandara internasional KLIA yang bersih dan memang disesuaikan standar bandara internasional, maka disini saya mendapati toilet yang jauh dari standar. Ada air tergenang berkecipak di sekitar pintu kamar toilet, aih ada rasa risih gimana gitu ya, inikah gambaran negara tempat islam diturunkan yang salah satu ajarannya kebersihan adalah sebagian dari iman? Yang salah adalah umatnya, bukan ajarannya ๐Ÿ™ˆ.

Lanjut ke cerita berikutnya ya. Sampai bandara kami langsung beranjak menuju kota Madinah Al Munawwarah. Perjalanan ke sana cukup lama, mulai jam 11 an siang, sampai di Madinah sudah sekitar pukul 4 sore. Langsung bersih diri, makan malam dan bersiap ke masjid Nabawi pertama kali ๐Ÿ˜.

Masjid Nabawi dari Jendela Kamar


Yang berkesan di Madinah ini, meski dengan biaya minimalis namun hotel yang didapat menurut saya yang jarang masuk hotel termasuk hotel yang bagus, kamar luas dan kamar mandi pun luas dan bersih. Dan satu hal lagi yang berkesan, dari jendela hotel langsung bisa melihat masjid Nabawi di depan mata ๐Ÿ˜ญ. Terlihat kubah hijau penanda letak raudha. Dan di dekatnya kami bermalam selama di Madinah.

Lanjut ke tulisan berikutnya ya ๐Ÿ˜˜.

Agie Botianovi
Pasuruan
29 Juni 2018

Kamis, 14 Juni 2018

Rindu Sebelum Berpisah


Bulan
Apa kabar dirimu hari ini
Tiba-tiba aku memikirkanmu
Tidakkah hatimu pedih ketika permukaanmu yang memantulkan cahaya matahari ke bumi tak lagi memantulkan sinar Ramadhan?
Waktu terasa berjalan lebih cepat dan lebih cepat
Ah bulan, tidakkah wajahmu merindu melihat semaraknya umat bersegera dalam menyembah Rabbmu?
Lebih dari bulan-bulan yang lain
Barangkali esok kau akan kembali menatap masjid-masjid kembali sepi
Ah tidak, semoga khayalku saja

Bulan
Tidakkah kini kau sudah merindui semaraknya tamu agung ini
Meski banyak orang sepertiku yang menyia-nyiakan kelimpahan pahala ini

Bulan
Butuh 11 kali lagi kau mengelilingi bumi agar bisa bertemu fase terindah ini
Ramadhan
Aku merindukan bahkan sebelum kita benar-benar berpisah

Agie Botianovi
29 Ramadhan 1439

Jumat, 08 Juni 2018

Mudik



Sebuah kata yang mengingatkan manusia tentang arti kembali. Kembali ke kampung halaman, kembali ke negeri sendiri.

Mudik bagiku? Dulu mudik artinya seharian perjalanan pulang pergi ke kota tempat ayah kandungku dilahirkan. Mengunjungi sanak saudara setelah dua belas purnama tidak bersua. Ah, rindu!!

Kini mudik bagiku memiliki makna yang lebih dari sekedar ‘sehari’. Namun mudik artinya adalah menginapkan diri lebih lama di rumah mertua daripada kunjungan biasanya.

Menikah. Menikah membuat perubahan arti mudik bagiku. Mudik tak lagi bermakna kembali ke tanah kelahiran, namun mudik adalah menemani kekasih menjemput kenangannya. Kenangan masa kecilnya dan kenangan masa remajanya. Bukankah begitulah sejatinya cinta? Mencintai apa yang dicintai oleh kekasih, dan membenci apa yang dibenci kekasih.

Dan mudik sesungguhnya adalah nanti. Nanti saat diri tak lagi mampu menambah amal. Saat hanya tiga perkara yang masih mampu mengalirkan pahala : amal jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak sholih. Ah, apakah telah kau rindui Penciptamu, Pemilik cinta yang sesungguhnya. Sudahkah kau mencintai apa yang dicintai oleh Penciptamu? Dan sudahkan kau membenci apa yang dibenci Penciptamu?

Mudik. Semoga kelak dimudikkan dalam keadaan sebaik-baiknya : iman, islam, dan ihsan. Khusnul khotimah.

Agie Botianovi
8 Juni 2018
Malam 24 Ramadhan 1439

Tentang aku dan i'tikaf



Dari 'Aisyah ra bahwa Nabi saw biasa beri'tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istrinya beri'tikaf sepeninggal beliau. (Muttafaqun 'alaihi. HR. Al-Bukhari : 2026 dan Muslim : 1172)

I'tikaf, berdiam diri di masjid selama 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Seingatku dulu saat pertama kali tahu apa itu i'tikaf saat SD aku bersikeras ke eyangku agar aku boleh ke masjid terdekat untuk i'tikaf. Padahal masjid di deket rumah tidak mengadakan i'tikaf ๐Ÿ˜…. Waktu SMA aku baru paham bahwa i'tikaf itu bisa dilakukan di masjid yang memang memfasilitasi untuk hal tersebut.

Dan akhirnya pertama kali aku keturutan i'tikaf adalah saat aku kuliah tingkat 1 di Masjid Raden Patah UB. Saat masjidnya belum dibangun seperti sekarang, masih bangunan lama. Dan kesan saya? Ah indah, fokus ibadah tanpa banyak distraksi meski sesekali juga berbincang dengan sesama jama'ah. Ah tapi saat itu aku masih cupu, masih jarang ada yang kenal. (Walau saat ini yang kurasakan lebih enak i'tikaf dengan orang-orang yang sedikit kenal, karena sedikit ngobrolnya ๐Ÿ˜…).

I'tikaf kedua masih jadi mahasiswa, tahun keberapa jadi mahasiswa ya...yang jelas pas itu di masjid ad-dakwah sdit ip, saat di sana masih dikelilingi sawah, kalau sekarang mah dikelilingi rumah ๐Ÿ˜….

I'tikaf ketiga waktu saya sudah menikah di semester 7 perkuliahan. Dengan suami pernah di annur jagalan dan di ghifari suhat. Dan itulah i'tikaf terakhirku sebelum aku memiliki anak. Tahun berikutnya 6 tahun total aku absen dari i'tikaf karena anakku belum bisa dikondisikan. Dan meski banyak yang bisa membawa anak, suami tidak mengijinkan. Tugas istri adalah taat, maka aku harus memperbanyak ibadah semaksimalnya di rumah sembari mendampingi si kecil. Pernah suatu kali saat masih labil (tahun pertama punya anak) aku ngambek karena suami gak sahur di rumah, padahal meski dia i'tikaf dia biasanya menyempatkan sahur bareng aku. Hahaha, lucu kalau diingat.

Dan kali ini adalah i'tikaf keempatku. Meski tidak bisa full 10 hari (seperti i'tikaf sebelum-sebelumnya juga gak pernah full), tapi aku bersyukur bisa i'tikaf. Terinspirasi dari umroh kemarin, anak-anak kutitipkan di eyangnya saat aku i'tikaf, hwkwkwk. Tapi gak tiap harilah,๐Ÿ˜†. Dan kali ini pertama kalinya aku i'tikaf di masjid jami' al umm. Padahal deket banget dengan rumah tapi baru tahun ini bisa i'tikaf disini.

Semoga bisa mengoptimalkan ibadah di bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi. Dan semoga masih diberi panjang umur agar bertemu Ramadhan tahun depan ๐Ÿ˜ญ.

Agie Botianovi
7 Juni 2018
Malam 23 Ramadhan 1439 H

Jumat, 01 Juni 2018

Berdua Denganmu

Berdua denganmu pasti lebih baik, aku yakin itu.

Berdua saja denganmu, entah rasanya sudah bertahun lamanya moment 'berdua' saja menjadi sebuah moment langka dalam kehidupan pernikahan kita. Terkadang aku sendiri ingin menyesali diri, mengapa aku dulu tak 'menikmati' masa hanya berdua denganmu. Ah kau pun tahu aku masih kuliah kala itu, sibuk dengan diskusi demi skripsi. Hingga lelahnya kehamilan trimester 3 tak juga membuatku surut berjuang demi lulus tepat waktu.

Ah, rasanya terlalu cepat waktu berlalu sayang. Ini adalah ramadhan ke 8 kita berdua. Kita yang kini beranggotakan lima. Ah ya lima, aku dan kamu, dan tiga buah cinta kita.

Sama-sama lagi pake masker karena gak tahan baunya unta ๐Ÿ˜‚. @peternakan unta hudaibiyah


Sebulan yang lalu masih terasa bagai mimpi, aku dan kamu 'mengasingkan' diri, berdua saja dalam naungan cinta. Ah sungguh, saat berdua saja dalam 10 hari perjalanan membuatku semakin memahami makna cintamu untukku. Ah ya, begitulah caramu mencintaiku.

Kau mencintaiku dengan caramu, cara yang tak akan bisa sama. Cara sederhana yang seringkali membuatku harus berpikir jernih untuk memahami makna.

Ah cinta, kapankah kita bisa berdua (lagi)?

31 Mei 2018
Malam 16 Ramadhan 1439

Selasa, 22 Mei 2018

Tentang persalinan si kembar

Tentang persalinan si kembar, banyak yang penasaran dengan bagaimana prosesnya, karena tidak bisa dipungkiri kebanyakan dari kehamilan kembar berakhir dengan persalinan SC. Sejak aku tau kehamilan keduaku kembar aku juga mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk tersebut, walau aku tidak mau aku harus siap menghadapinya. Namun sejak saat itu (kehamilan 15 minggu) aku terus mencari dan belajar banyak informasi tentang persalinan normal pada kehamilan kembar, dan aku optimis bisa melahirkan normal. Tiap kali berdo'a tak lupa kusisipkan keinginan terbesarku itu, melahirkan normal dan cukup bulan (dari yang kubaca resiko lahir prematur pada janin kembar lebih tinggi).

Saat itu yang terpikir pertama kali adalah sepupuku Mbak Yoes yang pernah melahirkan normal putri kembarnya yang kini seusia denganku. Hanya selisih beberapa bulan ketika aku tau aku hamil kembar dengan sebuah perjumpaanku dengan Mbak Yoes yang bercerita tentang proses persalinannya dulu. Janin Mbak Yoes dulu posisinya 69, jadi yang keluar dulu yang kepala di bawah disusul janin kedua kaki dulu yang keluar sehingga dokter harus memasukkan tangannya untuk mengambil kepala bayi. Selain Mbak Yoes, aku juga banyak bertanya pada beberapa teman yang memiliki anak kembar (walau yang kutemui kebanyakan bersalin SC). Dari beberapa pengalaman orang lain aku jadi lebih berhati-hati pada kehamilanku, menghindari berbagai kemungkinan terburuk. Ah, kalau browsing kehamilan kembar pasti diikuti berbagai resikonya yang lebih bejubel daripada kehamilan normal. Namun bersyukur suami termasuk orang yang bisa dibilang sangat care pada kehamilanku, hingga muncul juga tulisan dia tentang bagaimana menjadi suami saat istri hamil kembar.

Selain dari orang sekitar, aku juga lebih rajin browsing tentang persalinan kembar. Alhamdulillah ketemu beberapa blog yang bercerita tentang persalinan kembarnya yang berlangsung normal. Ketika membaca cerita-cerita ibu beruntung itu aku semakin optimis bahwa janinku pun bisa kulahirkan secara normal.

Semakin optimis lagi ketika bidan Rina tempat aku rutin ANC sudah pernah membantu persalinan kembar normal. Aku dan suami memilih tenaga medis bidan sebenarnya juga sedikit mendapat pertentangan dari ibuku karena beberapa teman ibuku yang punya anak kembar hampir semua ditangani dokter. Lagi-lagi banyak orang yang berpikir tentang banyaknya resiko kehamilan kembar sehingga terlalu parno. Namun aku dan suami tetap berusaha tenang, bukan berarti kami memilih bidan sebagai tempat periksa dan melahirkan (plan A) ini dianggap sebagai ikhtiar yang kurang optimal, tidak, kami ingin memberikan yang terbaik pula untuk amanah ini. Selama kehamilan kemarin aku juga sempat ANC 2kali k dsog, itupun atas anjuran bidan Rina untuk memastikan bahwa janin yang kukandung kembar dan posisi kembar d usia 36weeks. Kami yakin bahwa tubuh secara alami pasti bisa melahirkan normal, kembar ataupun tunggal.

Dari baca-baca bahwa rata-rata kembar 2 maju 3pekan dari HPL d usia 37weeks rasanya aku sudah pengen banget segera melahirkan. Dedek juga kusounding terus biar segera launching, tapi ternyata karena belum waktunya jadi ya gak launching-launching. Aku pikir karena aku selalu berdoa agar cukup bulan (cukup bulan minimal usia 38weeks), alhamdulillah Allah menjawab doaku itu. Tapi jujur saja rasa berat, gampang capek, dan kawan-kawannya itu yang bikin cepet-cepet naruh bayi di perut (gak dibawa-bawa kemana-mana lagi). Ditambah tiap liat orang lahiran rasanya pengen cepet-cepet juga,'aku kok belum?'. Tiap hari aku jadi selalu mikir 'inikah harinya?' ' kontraksi dulu gimana ya rasanya?'. Tiap pekan periksa selalu ngarep juga kali aja langsung lahiran pas periksa, -konyol-.

Sampai di pekan 38,baby di perut belum mau launching juga (jujur sempet parno karena temen suami ada yang hamil kembar sampai 40weeks gak ada kontraksi akhirnya jadi operasi) walhasil tiap hari konsumsi nanas buat nipiskan selaput rahim -induksi alami-. Sempet pas itu juga nyesel dulu pas 34weeks ditawari suami beli birthing ball gak mau, 'eman mek kanggo diluk'. Jadilah jalan pagi yang udah jarang dilakukan mulai dilakukan lagi, ngepel lantai jongkok, dan beberapa gerakan senam hamil yang mudah. Juga nungging dengan bertumpu pada dada (ini bikin napas sesek). Beberapa kali usg posisi baby fasya melintang padahal baby farah kepala udah masuk panggul sejak 32weeks. Fasya posisinya berubah-ubah terus tiap USG. Iya, bundanya memang disuruh lebih banyak lagi tahajudnya, emang anak shalihah nih.

Jum'at, 23 Oktober 2015
Beberapa hari terakhir rasanya dia sudah menusuk-nusuk di jalan lahir hingga untuk berjalanpun harus sedikit kutahan-tahan rasa nyeri. Begitupun hari ini, seharian aku juga sudah tidak terlalu nafsu untuk makan. 'Mungkin adek pengen lahir malam ahad nih bunda' ayah nyeletuk. Hm, semoga. Aku juga sudah tidak sabar menanti kehadiran kalian, walau beberapa kali bidan Rina juga mengingatkan bahwa ntar setelah lahir itu pasti lebih repot dan capek daripada pas hamil (berat euy), apalagi masalah manajemen ASInya.

Sabtu, 24 Oktober 2015 M/11 Muharam 1437 H
dini hari sekitar pukul 03.30
Aku terbangun, rasanya ada cairan yang terus keluar dari jalan lahir. Kubangunkan suami yang tidur di kasur bawah (beberapa hari terakhir suami dan Jundi mulai tidur di kasur bawah yang baru dibeli, persiapan jika si kembar sudah lahir) memberitahunya, lalu cepat-cepat aku berusaha bangun diantar suami ke kamar mandi, cek. Ternyata cairan bercampur darah, oke ini mungkin ketuban. Minta tolong suami ambil pembalut lalu segera menghubungi bidan rina tapi -no response-, wa juga tidak ada balasan. Namun suami tetap kabari eyang Jundi yang ada di rumah sebelah dan segera telpon taxi. Adzan shubuh ayah segera sholat,tidak selang lama taxi datang, aku berangkat dengan ibuku plus keperluan ibu dan bayi. 

04.30
Kontraksi belum terlalu terasa 'hebat' dan rutin, rasanya ketuban juga sudah tidak terasa keluar, namun ternyata setelah sampai di rumah bidan Rina sambil berdiri menunggu dibukakan ketuban rasanya terus keluar hebat -deres-. Masuk langsung cek di ruang biasanya periksa, ketuban sudah pecah (bukan lagi merembes seperti anggapanku :D) bukaan 2. Pindah ke kamar inap, sambil menunggu dan menghitung kontraksi aku duduk di birthing ball biar bayi lebih cepat turun. Lalu kadang jalan-jalan di luar sambil menghitung kontraksi dibantu 2 asisten bidan rina,-bidan dira dan bidan siti (yang datang sekitar jam 6 kurang)-.

Pada fase ini aku masih sangat bisa mengendalikan rasa sakit, kontraksi malah bikin senyum, ya bentar lagi ketemu si kembar yang sudah kutunggu berbulan-bulan lamanya. Sesekali aku minum air putih, air kurma hangat -disediakan-,coklat -udah pesen suami kalo aku mau melahirkan harus sedia ini-, dan kurma. Mungkin juga karena minum terus frekuensi pipisku jadi lebih sering. Tapi aku sepenuhnya sadar bahwa aku harus berenergi banyak untuk bisa mengejan mengeluarkan si kembar.

07.00
Rasa tidak nyaman mulai ada, dipakai banyak posisi mulai gak enak. Dicek baru bukaan 3, hm brati masih harus jalan-jalan lagi. Manja ke suami mulai kumat,pipis minta dianter sambil dipapah,lalu mules BAB juga diantar,bahkan dibersihkan suami :D.

Banyak posisi dicoba untuk mencari rasa nyaman, dari tiduran miring kiri, nungging,jalan,duduk di birthing ball,dll. Mulai mengeluh rasa sakit di pinggang belakang, rasa sakit yang rasanya gak habis-habis. Bidan Dira menawarkan kompres air panas di bagian yang sakit, aku iyakan. Akhirnya pertempuran banyak dihabiskan di atas ranjang dengan posisi nungging dipegang suami. Setiap aku mengeluh sakit, ibuku langsung bilang,'memang sakit nduk,itu artinya mau keluar,gapapa,wajar,melahirkan memang sakit'.

Dalam keadaan sakit yang semakin bidan Dira lagi-lagi mmenawarkan mandi air hangat biar fresh dan rileks. Aku iyakan, ibu juga mengingatkan sebelum berangkat tadi aku belum mandi jadi ada baiknya mandi agar fresh. Sambil menunggu air hangat, kontraksi terus datang semakin kerap, rasanya tidak bisa tersenyum lagi walau beberapa kali kuusahakan.

08.30
'Sudah ingin mengejan mbak? Kalo sudah saya panggilkan bu Rina.'
'Iya mbak'
Dicek bidan Rina bukaan 8.
'Oke, pindah ke kamar bersalin ya mbak Agie'

Turun dari ranjang baru menjejak kaki di lantai dibantu suami, aku sudah mengejan karena rasanya memang ingin mengejan, 2 tetes darah kulihat jatuh di lantai. Sambil dipapah suami aku jalan pelan-pelan sambil memeluk badan dan menghirup aroma tubuhnya yang menemangkanku. Aku mencoba terus relaks dengan nafas yang kupaksa panjang.
'Ayo sayang bunda pasti bisa, mbak Yoes aja bisa' bisik suami lembut di telinga menguatkanku.

Sampai di kamar bersalin pelan-pelan aku naik ranjang yang cukup tinggi, dan aku langsung memilih posisi nungging -posisi paling nyaman menurutku.

'Mbak posisinya gak bisa gitu, ini dua lho mbak,kalo cuma 1 gapapa'

Berat kupaksa mengubah posisi. Telentang. Bidan Rina sudah duduk di ujung ranjang membetulkan posisi kakiku. Beliau juga menyempatkan memutar murrotal di hapenya sesuai requestku di birth plan.

'Turun lagi mbak, ini bokongnya masih ngangkat. Tegang pahaku gemetar. 'Rileks' batinku. Aku berusaha menarik nafas dalam, mengingat relaksasi yang diajarkan di kelas prenatal. Senyum pun mengambang di bibirku. Dalam kesakitan aku berusaha untuk tetap sadar sepenuhnya setiap yang aku lakukan. Tak lama rasa ingin mengejan itu muncul dan aku ikuti begitu saja. Tiga kali aku mengejan, rasa hangat nan nyaman itu terasa di jalan lahir. Indah.

08.50
Terdengar tangisnya pecah, perempuan (sesuai dengan prediksi USG). Lalu dia segera ditaruh di dadaku untuk IMD. Entah, rasanya tak tergambar. Bahagia yang haru.

Tali pusat masih terasa di jalan lahir, menghubungkan kakak yang sudah di luar dan adik yang masih di dalam.

Rasanya sudah tidak terasa apa-apa lagi, rasa kontraksi yang tadi terasa tidak akan berakhir sudah enyah jauh entah kemana. Perutku berasa sudah enteng tidak berisi walau masih ada 1 bayi lagi di dalam sana.

Sambil IMD tubuhku gemetar, infus dipasang, pemasangan pun tidak langsung ketemu yang pas, sakitnya jarum sudah tidak ada apa-apanya lagi. Kopi dibuatkan untukku, beberapa kali dikucurkan dengan sendok teh ke mulutku agar aku tetap sadar. Pun oksigen, melalui selang langsung ditaruh di lubang hidungku oleh suami yang terus mendampingi di sampingku. Aku hanya bisa memeluk Fara di dadaku sambil mendo'a.

Oksitoksin disuntikkan di pangkal pahaku dan juga di kantong infus (bahasa umumnya drip atau diinduksi) agar segera terjadi kontraksi kedua. Berbarengan dengan baby Fara akhirnya mengulum putingku (satu rasa yang kurindukan seperti saat menyusui Jundi dulu, lega) dan bidan Dira membantu merangsang puting kontraksi itu datang. Ah si kembar, dari kecil sudah saling membantu.

09.40
Aku mengejan,hanya sekali dua lalu hangat yang nikmat itu lagi-lagi terasa. Nampak dari posisiku bidan Rina menyedot sesuatu dengan selang yang entah. Lalu tangis itu pecah, perempuan lagi.

Dari cerita suami dan ibuku yang bisa langsung melihat, saat kantong baby Fasya sudah terlihat bidan Rina berusaha memecahnya namun tak juga pecah, akhirnya saat kaki dan setengah tubuh keluar kantong berhasil dipecah dan kepala langsung terdorong keluar begitu saja oleh air ketuban. Setelah itu baru disedot cairan dari mulut, lalu menangis, alhamdulillah.

Diapun ditaruh di dada kiriku. Takut keduanya jatuh aku meminta tolong untuk dipegangkan sampai IMD selesai. 

Time for plasenta aku mengejan sekitar 2-3kali. Entahlah dulu sepertinya waktu Jundi aku tidak mengejan untuk mengeluarkannya, apa mungkin karena kondisiku yang setengah kesadaran karena kesakitan? 

Plasenta mereka cuma 1, artinya mereka kembar identik dari 1 telur dan sperma yang sama. Hm, waktu hamil aku sempat takut ini, karena takut tertukar :D. Tapi ternyata meski identik wajah mereka berbeda, walau kadang terlihat sama XD.

ditulis nyicil dari 6 November-14 Desember 2015 dengan mencuri-curi waktu mengurusi 2 bayi dan 1 balita

dari seorang bunda 3 anak yang berusaha memberikan yang terbaik