Senin, 06 April 2020

My Dhuha

Dhuha, salah satu waktu yang utama dimana Allah bersumpah atasnya. Dhuha hadir di saat manusia memulai aktivitas rutinnya hari itu. Maka memulai hari dengan shalat dhuha tentu akan menjadi pembuka kebaikan-kebaikan di hari itu.

Disebutkan pula dalam sebuah riwayat bahwa 2 rakaat shalat dhuha bisa menjadi pengganti sedekah setiap sendi tubuh kita. Dhuha memang shalat sunnah tapi memiliki banyak sekali keutamaan. Lalu mengapa saya dan suami memutuskan memberi nama anak keempat dengan nama Dhuha?

Ya, tentu semua menduga karena lahir di waktu dhuha. Memang betul, anak keempat kami lahir di saat awal waktu memasuki dhuha.

Berawal dari celetukan ibu yang turut mendampingi persalinan agar menamakan anak kami dengan nama fajar karena lahir pagi hari. Saya pun langsung menimpali kalau ini udah masuk dhuha, bukan fajar lagi. Dan begitulah akhirnya saya dan suami pun sepakat menamainya dhuha.

Harapan kami, putra kami ini bisa menjadi ahlu dhuha yang selalu menjaga shalat dhuhanya sepanjang hidupnya kelak. Adnan Dhuha Abdillah, hamba Allah penenang hati yang hadir di waktu dhuha. Adnan bisa diartikan surga tapi bisa juga diartikan penenang hati. Dipanggil apa saja dari namanya semoga nama tersebut bisa menjadi do'a kebaikan untuk pemilik nama.

Bunda Jundi
diselesaikan 6 April 2020

Sabtu, 04 April 2020

Popok Kain

Lama nggak bahas beginian akhirnya bahas lagi karena emang sekarang kerjaan saya tiap hari berkutat di perpopokan, XD. Yes, tentu merawat bayi 1,5 bulan masih sangat erat hubungannya dengan masalah popok. Tapi, kenapa saya kasih judul popok kain?

Bagi sebagian orang mungkin terlihat aneh ketika tahu saya -orang tua milenial- masih memberikan popok kain ke anaknya. Dimana jamannya sekarang udah jamannya serba praktis, popok sekali pakai umum digunakan semua orang, tapi kok mau-maunya saya tetep makein popok kain ke anak?

Buat saya, memastikan kecukupan ASI itu penting karena bisa dilihat dari seberapa sering anak buang air kecil dalam sehari. Yang kedua, menurut yang saya tau popok kain lebih sehat daripada pospak. Dan yang ketiga popok kain lebih ramah lingkungan, tidak menambah gunungan sampah popok yang berjuta tahun baru bisa terurai, hiks.

Memang sih agak dilematis, popok kain sedikit lebih repot daripada ketika memakaikan bayi full pospak. Maka seperti ketiga anak sebelumnya saya pun memakaikan clodi sebagai pengganti pospak. Tapi tetep, pemakaian clodi sendiri kalau saya tidak langsung dari baru lahir, kalau baru lahir sampai usia yang agak besar saya masih memakaikan popok tali sepanjang hari dan clodi atau pospak hanya untuk malam hati. Lalu apakah itu clodi?

Ternyata masih banyak yang tidak paham tentang seluk beluk clodi. Ketika saya posting tentang clodi pasti banyak pertanyaan seputar pemakaian clodi dan perawatannya. Clodi sendiri adalah singkatan dari cloth diaper, popok kain, yang menurut istilah adalah popok kain yang bisa menyerap beberapa kali buang air bayi seperti pospak, bedanya bisa dipakai berulang kali.

Penjelasan lebih lanjut tentang pengalaman saya berclodi sepertinya bisa dilanjut di tulisan berikutnya, hehe.

Salam
Bunda Jundi
4 April 2020
Menjadi ibu itu yang penting happy ^^

Jumat, 03 April 2020

PTS di Rumah

Pengalaman pertama buat saya bisa menemani anak ujian dari rumah. Ya, dengan adanya wabah covid19 saat ini telah memberi banyak sekali pengalaman baru bagi saya termasuk menemani anak menghadapi Penilaian Tengah Semester.

Dengan segala keterbatasan pembelajaran online, selama hampir 3 pekan ini pembelajaran hingga ujian dilangsungkan online dari rumah. Tiap pagi bertemankan hp untuk memfoto, merekam, atau memvideo setiap tugas anak yang sudah diberikan gurunya. Ah, pasti ini pun tak mudah untuk gurunya. Membayangkan tiap hari seorang guru harus menerima banyak sekali video, foto, dan audio untuk kemudian direkap nilainya. Sudah pasti butuh tambahan kuota juga agar semua tugas bisa terkoreksi dengan baik. Belum lagi jika ternyata lembar jawaban siswa yang difoto agak blur, pasti gurunya juga kesulitan mengoreksi.

Menemani anak PTS di rumah membuat saya berasa menjadi pengawas ujian anak sendiri. Di sinilah ujian kejujuran itu, jujur saja kadang ada rasa gatel ingin memberitahu anak ketika jawabannya salah, tapi saya tetap berusaha untuk diam tidak memberitahu sama sekali jika jawaban dia salah. Meski dari rumah, jam ujian dilakukan secara serentak, jadi anak tetap mandi dan sarapan seperti saat harus berangkat ke sekolah.

Namun ujian lain adalah banyaknya distraksi dari adik-adik yang belum sekolah. Karena anak saya baru satu yang sekolah, jadilah anak-anak yang lain beberapa kali mencari perhatian dan mengganggu proses ujian kakaknya. Yah, emak kudu sabar menghadapi ini, seperti halnya harus bersabar untuk tetap di rumah dan hanya keluar ketika benar-benar perlu. Semoga wabah covid19 ini segera mereda.

Bunda Jundi
diselesaikan 3 April 2020

Senin, 30 Maret 2020

Buah Hati Keempat

Salah satu hal yang tidak mungkin dilupakan seorang ibu adalah proses persalinan buah hatinya. Begitu juga denganku. Baru beberapa waktu yang lalu aku melahirkan anak keempat. Sebenarnya ini adalah persalinan ketiga, karena persalinan kedua melahirkan bayi kembar.

Entahlah, meski sudah kali ketiga, persalinan ini menurutku justru persalinan paling panjang dan menguras air mata. Rasanya proses persalinan kemarin tidak berujung, lama sekali. Namun setelah melewatinya aku pun memahami mengapa prosesnya terasa begitu menyakitkan, sangat berbeda dengan persalinan sebelumnya yang relatif singkat.

Anak pertama prosesnya cukup cepat, setengah dua belas bukaan tiga, setengah tiga sudah lahir. Persalinan kedua juga relatif cepat, lima pagi bukaan dua, sembilan pagi sudah lahir. Kupikir persalinan ketiga juga akan lebih cepat dari dua persalinan sebelumnya. Kata orang, semakin sering bersalin akan semakin mudah. Namun ternyata aku salah. Persalinan ketigaku justru menjadi persalinan paling lama yang pernah kualami.

Jika dua persalinan sebelumnya adanya bloody show menjadi penanda adanya pembukaan, maka persalinan kali ini tidak berlaku seperti itu. Sabtu pagi darah itu telah keluar dari jalan lahir, aku pun optimis bayi akan lahir hari itu juga seperti sebelumnya. Namun ternyata aku salah. Hingga siang hari bercak darah terus keluar, tapi kontraksi yang ritmis belum juga terasa. Ah, mengapa tak seperti persalinanku sebelumnya?

Ibu yang mengkhawatirkan kondisiku langsung mengajak ke bidan untuk diperiksa, sama sekali belum ada pembukaan. Aku pun kecewa, mengapa berbeda? Kami pun kembali pulang, menemui anak pertama yang sedang kurang sehat, juga meredakan rindu pada anak kedua dan ketiga.

Hingga malam, kontraksi mulai datang tapi belum intens, sedang instruksi bidan agar ke klinik ketika kontraksi sudah rutin lima menit sekali. Ah, rasanya aku tak sabar menunggu.

Aku terus saja berjalan mondar mandir di dalam rumah agar kontraksi lebih intens. Menanti setiap gelombang cinta yang merambat lamat ke seluruh raga. Kuhitungi setiap sinyal itu datang. Ah, jaraknya masih jauh, belum teratur lima menit sekali.

Kondisi yang semakin malam membuatku terintimidasi, ditambah pertanyaan suami dan ibu yang memperjelas keputusanku, "Berangkat sekarang?"

Lima belas menit sekali, akhirnya kuputuskan untuk menjawab iya. Suami mengkhawatirkan jalanan macet di akhir pekan ditambah persalinan sebelumnya yang berlangsung cepat.

Ah, ditambah perjalanan yang memakan waktu setengah jam lebih bisa jadi sampai klinik kontraksi sudah lima menit sekali, begitu harapanku.

Sekitar pukul sembilan malam sampailah di klinik bidan tempatku selama ini memeriksakan kehamilan. Di perjalanan aku hanya sempat merasakan sekali kontraksi yang cukup kuat. Ah, apakah lagi-lagi belum ada pembukaan?

Di ruang periksa salah seorang bidan melakukan cek dalam di jalan lahir, bukaan satu. Alhamdulilah sudah pembukaan, walau lagi-lagi aku masih harus menunggu.
Malam itu aku, suami, dan ibu bermalam di sana, di sebuah kamar inap yang masih kosong. Dua kamar lain telah terisi pasien yang baru melahirkan pagi tadi.

Berharap penambahan pembukaan berlangsung cepat, aku duduk di birthing ball yang disediakan di kamar. Bismillah tak lama lagi aku akan menyambut kehadirannya. Bidan baru akan cek lagi setelah empat jam atau ketika aku merasakan sakit yang teramat dan keinginan mengejan datang.

Hingga pukul sepuluh, kontraksi masih jarang datang. Aku pun masih bisa menikmati lalapan ayam yang baru saja dibelikan suami di depan gang klinik. Obrolan masih mengalir ringan dengan suami dan ibu.

Menjelang sebelas malam, kantuk mulai menyerang. Kucoba untuk merebah dan menutup mata. Sejenak saja, gelombang cinta itu datang. Mencoba mengambil nafas panjang tapi rasa tak nyaman itu tetap ada. Aku pun berdiri, mengalihkan rasa dengan berpegangan tembok. Sayang rasa tak nyaman itu tak juga pergi.

Kubangunkan suami, berharap pelukannya bisa mengurangi rasa tak nyaman ini. Namun rasa itu semakin mendera, terasa bagai setruman listrik yang menyengat kuat terutama di pinggang. Aku meminta suami mengusapnya tapi rasa itu tak juga mereda. Lagi, latihan nafas panjang yang sudah dipelajari coba kupraktekkan. Sesaat kemudian rasa itu enyah. Aku pun memilih duduk di birthing ball lagi, suami kuminta istirahat.

Tak lama rasa kantuk itu kembali datang, aku coba merebah lagi ke arah kiri, berharap bisa mempercepat pembukaan. Kadang ada rasa mulas ingin buang air besar, aku pun pergi ke kamar mandi, berharap hajatku bisa tuntas sebelum aku melahirkan. Namun ternyata hanya air seni yang bisa keluar.

Siklus itu berlangsung berkali-kali, entah berapa kali aku tidur, kontraksi, bangun, membangunkan suami, duduk birthing ball, ke kamar mandi.

Ah, mengapa ketuban juga belum juga pecah. Aku berharap ketubanku pecah agar pembukaan cepat sempurna seperti persalinan sebelumnya.

Pukul satu dini hari aku mencoba merebah, ngantuk sekali rasanya. Di luar terdengar ada pasien baru masuk lagi, ibu keluar mencoba membangunkan bidan yang istirahat. Setelah ibu masuk ruangan lagi ibu bercerita kalau pasien yang baru masuk akan melahirkan anak ketujuh.

Ah, jangan-jangan temanku, karena ada teman dengan usia kandungan hampir sama akan melahirkan anak ketujuh. Aku pun bilang suami, lalu suami keluar untuk memastikan. Ternyata benar.

Tak lama temanku masuk ke kamar, dia tidak mendapat kamar karena hanya tersedia tiga kamar inap yang sudah penuh. Dia menempati ruang periksa bidan.

Kelelahan, aku menyambutnya dengan tidur sambil menahan rasa sakit. Ah, temanku ini tentunya sudah lebih strong karena pengalaman ketujuh. Dia baru saja dicek sudah pembukaan empat, sedang aku baru pembukaan tiga. Ah, jujur saja aku terintimidasi, mengapa pembukaanku bertambah sangat lambat?

Menjelang subuh, gelombang cinta itu datang semakin kuat dan intens, aku akhirnya dibawa ke kamar bersalin, pembukaan baru lima walau rasanya sudah tidak tertahankan lagi.

Setelah dicek dalam, ada rasa tak nyaman, aku izin turun dari dipan. Ada rasa ingin mengejan datang, ternyata ketuban keluar bercucuran. Ah, semoga kali ini lengkap seperti anak pertama dulu, setelah pecah ketuban langsung lengkap.
Lagi-lagi aku harus menelan kecewa, pembukaan tetap di lima.

Istighfar banyak-banyak kubisikkan dari bibir yang seolah kebas menahan rasa sakit. Apakah ini balasan atas kesombonganku selama ini karena telah melalui dua persalinan yang mudah? Lalu dengan percaya diri aku memastikan persalinan kali ini juga pasti mudah. Allah, ampunilah keangkuhanku, karena sesungguhnya kemudahan itu semata datangnya dari-Mu.

Aku menangis menelan rasa sakit, memperbanyak istighfar mengingat dosa-dosa. Aku berbisik ke suami agar dia memaafkan segala kesalahanku.

Adzan subuh telah berkumandang tapi si dia masih malu-malu bergelung di rahimku. Baik suami, ibu, dan dua bidan bergantian melaksanakan shalat subuh. Kondisiku sudah entah, duduk di birthing ball dan mencoba menggunakan peanut ball semua tak lagi mampu mengalihkan rasa tak nyaman. Berkali-kali aku ingin mengejan tapi belum diperkenankan karena bukaan belum sempurna.

"Sayang, jangan dulu, energinya dihemat." Suami lagi-lagi dengan sabar mengingatkan. Berkali-kali dia menguatkan.

Beberapa kali dicek bukaan masih di tujuh, lalu delapan, lalu sembilan, aku semakin tak tahan ingin mengejan. Sedang di ruang sebelah temanku sudah selesai melahirkan bayi ketujuhnya dengan selamat. Aku semakin ingin segera menyelesaikan ujianku kali ini.

Aku terus memaksa mengejan untuk mengurangi rasa tak nyaman, namun terus saja diminta menahan dulu hingga bidan senior pemilik klinik pun datang.

Tanpa ba-bi-bu beliau langsung memanduku tak peduli bukaanku yg katanya belum sempurna. Melihat posisi bayi, aku disarankan mengejan dengan posisi miring, tapi aku sudah tidak kuat lagi untuk mengubah posisi yang terlanjur terasa nyaman.

Air mataku berderai, berkali-kali saat keinginan mengejan itu datang aku berusaha sekuat tenaga mendorong. Bahkan di jalan lahir Bu bidan mengusap dengan air hangat. Beberapa kali pula saat aku mengejan keluar pula hajat yang ada di belakang, terasa dari tisu yang beberapa kali dioleskan untuk membersihkan. Ah, baru kali ini aku separah ini.

"Astaghfirullah, astaghfirullah," air mata ini terus menetes merasakan tenaga yang rasanya sudah terkuras habis.

"Makan kurma ya buat energi."

Aku menggeleng. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku harus segera menyelesaikan fase ini.

Entah sudah berapa kali aku harus mengejan, rasanya sudah belasan kali. Di jalan lahir rasanya sudah mengganjal kepala bayi mendesak-desak. Kenapa rasa hangat menenangkan itu tak juga datang?

Tawaran minum akhirnya kuiyakan, tenggorokanku terasa kering beberapa kali mengejan.

"Bismillah ya Allah, bismillah." Aku meracau sambil menangis.

Lagi-lagi kupaksa mengejan, entah keberapa kalinya hingga tepat pukul 06.18 lahirlah penyejuk mata keempatku, laki-laki kedua.

Dia langsung ditaruh di dadaku untuk IMD.

"Pantes Mbak Agie persalinan lama, jadi barusan yang keluar dahinya dulu, dongak. Apalagi dia pake safe belt plasenta."

Masyaallah, berawal dari perut gantung bekas hamil kembar ternyata menyisakan persalinan yang sangat lama dan menyakitkan.

Tubuhku pun bergetar hebat.

"Diinfus ya biar gak gemetar."

Beberapa kali dicari pembuluh untuk infus tidak ketemu, akhirnya aku diminta menenangkan diriku agar tidak bergetar dan tidak perlu diinfus.

Istighfar dan basmalah yang terus kuucap, lambat laun tubuhku pun dapat kukendalikan.

"Mau sarapan apa Mbak Agie?" Bidan menawari.

Ah rasanya sudah tidak nafsu makan apapun, lemas. Aku menggeleng, "Terserah Mbak, belum nafsu makan apapun."

Allah, ampuni dosaku.

Diselesaikan 27 Maret 2020
Adnan Dhuha Abdillah lahir tepat di 40 minggu usia kehamilan, 16 Februari 2020

Senin, 17 Juni 2019

16 Makanan yang Boleh dan Tidak Boleh untuk Ibu Hamil

Kebetulan tadi pagi menemukan sebuah survey dalam bahasa Inggris tentang makanan yang boleh dan tidak boleh untuk dikonsumsi ibu hamil. Beberapa jawaban saya ternyata salah, tidak sesuai dengan faktanya, hihi. Dari situ saya pun jadi ingin menulis apa yang saya dapat tadi, beberapa hal yang sebelumnya saya tidak tahu.



1. Daging mentah
No. Daging mentah mengandung bakteri yang bisa membahayakan ibu dan janin, jadi kalau makan daging harus yang matang sempurna.

2. Ikan mentah
No. Selain mengandung bakteri parasit jika tidak dimasak matang sempurna, ikan juga bisa mengandung logam berat yang berbahaya untuk kandungan.

3. Seafood mentah
No. Seafood pun harus dimasak dengan matang sempurna.

4. Produk kedelai
Dibatasi. Produk kedelai sebenarnya aman untuk ibu hamil, tapi harus tetap dihindari untuk kedelai yang gennya sudah termodifikasi.

5. Telur mentah atau setengah matang
No. Telur mentah atau setengah matang bisa membawa bakteri salmonella, jadi harus dimasak hingga benar-benar matang.

6. Buah jeruk
Yes. Buah jeruk bagus untuk kehamilan karena mengandung vitamin C dan asam folat yang sangat baik untuk perkembangan janin.

7. Jamur-jamuran
Dengan hati-hati. Jamur kancing, jamur tiram adalah pilihan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi ibu hamil (sebenarnya ada jenis jamur lain tapi saya jarang menemukannya di Indonesia ๐Ÿ˜… : honey mushroom dan butter-foot boletes). Sebaiknya juga dimasak matang sempurna.

8. Madu
Yes. Makanan yang alami dan sehat untuk ibu hamil. Sangat aman untuk beberapa kondisi, kecuali memang memiliki alergi madu.

9. Bawang putih
Yes. Konsumsi bawang putih dalam jumlah kecil sangat aman dan memiliki banyak manfaat.

10. Jahe
Dengan hati-hati. Jahe bisa mengurangi gejala keracunan, tapi sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Apalagi jika sudah mendekati HPL, sebaiknya sama sekali tidak mengkonsumsi jahe karena kandungannya yang bisa menurunkan darah bisa mengakibatkan hematoma di pasca persalinan.

11. Gula pengganti
Tergantung jenis gula pengganti. Menurut U.S. Food and Drug Administration aspartam, sukralosa, dan stevia aman untuk ibu hamil. Namun bagaimanapun penggunaan pemanis buatan kurang baik untuk kesehatan.

12. Kacang
Yes. Kacang baik untuk kesehatan janin, meski jika memiliki alergi tetap harus dihindari.

13. Keju
Tergantung jenis keju. Keju yang lembut yang terbuat dari susu mentah sebaiknya dihindari karena bisa mengandung bakteri yang kurang baik. Sedang keju keras atau yang terbuat dari susu pasteurisasi aman.

14. Kecambah mentah
No. Sebaiknya mengkonsumsi kecambah yang matang sempurna, karena kecambah mentah bisa jadi kurang bersih dalam mencuci.

15. Salad
No. Kecuali membuat sendiri dan memastikan semua dibuat dari bahan-bahan yang dimasak matang

16. Es krim
Yes. Karena es krim dibuat dari susu dan telur yang sudah dimasak, maka aman dikonsumsi ibu hamil.

Demikian 16 poin makanan dari survey yang saya ikuti di aplikasi Flo. Maafkan terjemahannya bebas banget dan agak-agak ngawur ๐Ÿ˜‚. Namun insyaallah intinya sama dengan yang disampaikan di Flo, hihi. Semoga bermanfaat bagi yang sedang hamil.

Agie Botianovi

Minggu, 09 Juni 2019

So Late Adzan

Salah satu hal 'unik' lagi yang ada di desa suami adalah adzan ashar yang 'sengaja' ditelatkan. Katanya sih agar para petani yang sedang di sawah tidak buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, ini kata suami. Namun entahlah, menurutku hal ini kok terdengar kurang relevan. Padahal ketika terdengar adzan ashar juga tidak semua petani langsung buru-buru bersih diri agar bisa berjamaah di musholla. Nyatanya mereka juga tetap mengakhirkan sholat ashar menjelang waktu magrib, ini sih yang sering saya temui.

Jika di aplikasi hp adzan ashar seharusnya berbunyi pukul 15.00, maka di desa sini baru ada adzan pukul 16.00-16.30, sekitar waktu itu. Ah, membuat penduduk di sini pun lebih gemar lagi mengulur-ulur waktu sholat yang seharusnya disegerakan.

Jika ini memang adat kebiasaan penduduk di sini, maka menurut saya kebiasaan ini patut diubah menjadi lebih baik. Apalagi hal ini bisa menjadi fatal untuk yang suka mengakhirkan sholat dhuhurnya. Sebenarnya sudah masuk waktu ashar, tapi tetap mengerjakan sholat dhuhur karena belum terdengar adzan ashar. Tak peduli matahari sudah condong ke barat, yang penting belum adzan ashar maka belum masuk waktu ashar.

Ah, saya sendiri kalau di sini sholat sesuai adzan aplikasi saja, meski mungkin ada juga yang mengira saya sholatnya salah waktu. Entahlah, yang penting Allah Maha Tahu.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-28