Jumat, 07 Juni 2019

Perceraian

Perceraian, sebuah kata yang sering kali membuat saya shock mendengarnya, apalagi jika melihat kemesraan yang selalu ditunjuk-tunjukkan tiba-tiba menghilang tanpa jejak, begitu saja.

Kita memang tak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam kehidupan rumah tangga seseorang. Bisa jadi apa yang ditampakkan justru sebuah topeng pembenaran atas ketidakberesan kehidupan rumah tangganya. Siapa yang tahu? Hanya untuk menghibur diri bahwa rumah tangga saya baik-baik saja bisa jadi seseorang justru selalu berusaha menampakkan kemesraan terutama di sosmed, sebuah dunia yang penuh kepalsuan.

Kita bisa dengan bebas membentuk sendiri persepsi orang terhadap diri kita, entah itu untuk sebuah kebenaran atau tidak. Yang jelas sosmed itu maya, yang ditampakkan adalah sisi baiknya saja. Jika tidak pernah bertemu lagi di dunia nyata, maka jangan pernah berharap kau akan tau wajah dia sesungguhnya.

Kembali lagi ke perceraian. Saya sering tidak menyangka bahwa perceraian akan menimpa teman atau saudara di usia pernikahan yang masih sangat muda. Siapa yang pernah menyangka bahwa di dunia yang jauh dari dunia 'artis' ternyata juga ada pernikahan yang berlangsung hanya dalam hitungan bulan, atau mungkin hanya bertahan 1-2 tahun saja.

Ah, saya tak pernah menyangka, tapi inilah dunia. Ketidakcocokan itu bisa jadi memang baru terasa setelah beberapa waktu, terlepas dari bagaimanakah proses perkenalannya dulu. Namun perceraian itu nyata adanya, jika pertengkaran sudah tak ada kata damai, atau perdamaian sudah tidak bisa mufakat, mungkin memang lebih baiknya adalah berpisah. Daripada ada jiwa yang semakin terdholimi, atau jiwa yang semakin tersiksa.

Karena perceraian adalah sesuatu yang boleh, meski hal itu dibenci Allah. Dan mungkin setan akan berteriak kegirangan saat ada talak tertunaikan. Ah perceraian, sesuatu yang candanya pun bisa menjadi nyata. Maka wahai para suami, berhati-hatilah menata emosi, jangan sampai emosi sesaat menjadikan kata yang dibenci itu keluar dari mulutmu.

Dan untuk para istri termasuk saya, janganlah suka menyulut pertengkaran dengan suami. Sering kali mengalah itu bukan menjadi kalah, tapi mengalah itu adalah kemenangan melawan hawa nafsu.

Bisa jadi, botol dan tutupnya sudah tidak seukuran lagi, tak bisa lagi bersama saling melengkapi.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-26

Kamis, 06 Juni 2019

Lebaran di Desa

Lebaran di desa suami meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Beberapa adat kebiasaan di sini begitu berbeda dengan apa yang ada di kota tempatku dibesarkan. Salah satu hal paling unik adalah tata cara sholat iednya.

Sholat ied di sini diadakan di musholla masing-masing blok. Jadi hanya beberapa baris saja. Bapak-bapak di dalam musholla tidak sampai penuh, kemudian ibu-ibu di luar musholla hanya hingga sekitar 3-4 shof saja.

Sembari pergi sholat, tiap rumah membawa makanan untuk dimakan bersama dengan saling bertukar, intinya tidak boleh makan milik sendiri. Rata-rata orang desa sini selalu menyembelih 1 ayam untuk dimasak opor lengkap dengan lontong dan ketupatnya. Makanan diletakkan di 1 baki besar berisi 1 mangkuk penuh isi opor dengan beberapa bungkus lontong. Nanti akan dimakan setelah sholat ied dengan melingkar sekitar 3-5 orang tiap nampan, makan bersama.

Sedangkan hal unik yang paling unik menurutku adalah saat khutbah sholat. Jika di kotaku khutbah disampaikan dengan bahasa Indonesia, lengkap dengan Khotib yang biasanya ustadz yang cukup dikenal, maka di sini khutbah disampaikan dengan bahasa Arab! Entahlah jamaah lain paham semua atau tidak dengan apa yang 'dibaca' oleh sang khatib yang juga merangkap sebagai imam.

'Kerpekan' yang dibaca pun kuamati sepertinya sama dari tahun ke tahun. Uniknya lagi, sang khatib membacakan dengan nada penuturan bukan seperti ceramah, tapi seperti sedang tilawah. Saya sempat protes tentang hal ini ke suami, lalu kita dapat apa kalau khutbahnya semacam itu? Kata suami, ya yang mondok kan tau artinya. Okelah, tapi menurut tetap saja isinya seperti tidak merasuk ke dalam hati. Hal ini pun juga terjadi saat sholat Jumat, entahlah. Yang tak paham bahasa Arab akan mendapat 'siraman rohani' dari mana?

Namun bagaimanapun inilah adat kebiasaan yang unik yang tetap harus dilestarikan, mungkin begitulah di desa ini turun temurun dilakukan. Walau barangkali jika ada perbaikan terhadap isi khutbah, maka pasti akan lebih bermakna.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-25

Rabu, 05 Juni 2019

Cinta yang Tulus

Di dunia ini sejatinya manusia sedang sendiri. Manusia berbuat sesuai keinginan sendiri tanpa tendensi orang lain. Setiap manusia pun akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya sendiri, tanpa orang lain yang ikut menanggung. Sendiri, benar-benar sendiri.

Namun di dunia ini, aku memiliki dua cinta, ya hanya ada dua cinta. Dua cinta yang teramat tulus. Selain mereka, entah siapa lagi yang mencintaiku dengan tulus. Mungkin Bapak atau Eyang yang sudah pergi mendahuluiku.

Namun kini, hanya tersisa dua cinta, cinta suami dan ibuku saja. Tiada lagi yang lain. Entahlah, kurasa di dunia ini tidak ada lagi cinta yang tulus selain cinta mereka. Aku sendiri, benar-benar sendiri.

Suatu saat saat aku merasa sendiri, aku pernah bertanya kepada suami, "Apakah kamu menyayangiku?"

"Pertanyaan macam apakah itu?"

Apa masih kurang bukti cinta dan sayangnya selama sewindu ini? Ah ya, tepat 9 Juni esok kami tepat 8 tahun masehi membina rumah tangga.

Begitupun ibuku, beliau pernah berkata, "Tiada cinta yang lebih tulus selain cinta Ibu."

Ah, Ibu memang teramat mencintaiku hingga dulu sebelum aku menikah nampak sekali beda perlakuan Ibu. Ibu pernah berkata, ibu begitu karena akulah satu-satunya anaknya yang sudah yatim sedari bayi. Sedang kedua saudaraku masih memiliki ayah yang tulus mencintai mereka.

Taukah? Tidak ada cinta ayah tiri yang melebihi cinta bapak kandung yang dari tulang sulbinya aku bermula. Tidak, tidak akan pernah sama. Meski aku bersyukur memiliki ayah tiri yang kutau beliau mencoba menyayangiku. Walau tak sama, tak akan pernah sama.

Maka cintaku, aku juga mencintaimu. Suamiku, ibuku, hanya kalianlah yang tulus mencintaiku dan yang kucintai.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-24

Selasa, 04 Juni 2019

Ramadhan Terakhir

Inikah tarawih terakhirku? Semalam sempat terbesit dalam hati, bilakah tarawih ini adalah tarawih terakhirku? Air mataku pun menitik, lalu menderas. Sudah beribadah apa saja di bulan Ramadhan ini? Apa tetap sama dengan sebelum-sebelumnya? Kusia-siakan Ramadhan hingga dia pergi tanpa menoleh lagi.

Palsu! Aku selalu berjanji palsu dari tahun ke tahun. Janjiku ingin lebih optimal beribadah tahun ini. Nyata-nyatanya, sama saja. Aku lagi-lagi menyia-nyiakan.

Tarawih kemarin akankah menjadi tarawih terakhirku di tahun ini, atau menjadi tarawih terakhir dalam hidupku? Ah, sampaikah aku ke tahun berikutnya? Seolah-olah diri segera beranjak dari dunia ini. Lagi-lagi air mata itu mengaliri pipi. Telah kusia-siakan Ramadhan kali ini.

Ramadhan, sudikah kiranya dirimu berjumpa lagi denganku? Aku sudah merindumu, meski baru beberapa jam lalu kita berpisah.

Ramadhan, akankah tahun ini kamu akan membekas di tiap nafasku? Akankah kebiasaan-kebiasaan yang kulakukan bersamamu akan tetap kubawa saat tak lagi bersamamu?

Ramadhan, kaulah bulan penuh cinta. Darimu aku belajar, bahwa setiap menit begitu berarti untuk mengeja tiap kalamullah. Tapi sudahkah aku mengoptimalkan cinta ini bersamamu?

Ramadhan, apakah aku mendapat malam istimewamu itu? Sebuah malammu yang terlalu istimewa, tapi lagi-lagi aku barangkali telah mengabaikannya.

Ramadhan, ah janganlah pergi. Aku masih ingin kita bersama lagi. Peluklah erat kalbuku agar selalu tertaut padamu.

Ah Ramadhan. Mudahkanlah hamba ya Rabb agar bisa bertemu dengan Ramadhan-Mu, lagi, lagi, dan lagi. Diri ini sudah ingin mencuci dosa lagi, karena nyatanya dosaku masih menggunung.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-23

Jumat, 31 Mei 2019

Sahabat Lama

Setiap orang pasti punya sahabat masa lalu, baik yang masih sambung ataupun yang sudah putus hubungan. Bisa jadi karena lost contact atau karena kesibukan masing-masing yang tak lagi sama.

Perubahan itu niscaya adanya. Meski dulu selalu bersama, ketika sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing, maka kebersamaan tersebut akan terkikis dengan seiring waktu.

Begitu juga dengan persahabatan kami, G2C. Sebuah nama yang kami pilih untuk menamai diri kami sendiri. Kami dulu dipertemukan saat naik kelas 3 SMP. Kelas yang berbeda dengan saat kelas 2 membuat kami 'mencari' lagi teman baru untuk diajak sebangku. Biasanya yang dulu saat kelas 2 sekadar kenal bisa jadi teman jalan.

Sedang kami berempat dulu entah kenapa di hari pertama masuk kelas tiba-tiba kami akrab begitu saja. Hingga setahun berjalan pun kami kompak kesana kemari berempat. Kami bercerita banyak hal, dari a hingga kembali ke a lagi. Kami pun bisa dibilang sangat usil satu sama lain saking kompaknya. Mulai dari menyembunyikan sepatu, hingga meninggalkan sendiri salah seorang teman saat pulang sekolah.

Pulang sekolah pun kami seringnya selalu bersama, naik angkot berempat, meski terkadang juga ada yang dijemput orang tuanya. Namun kami berempat selalu berusaha kompak.

Menginjak SMA, kami mulai terpisah sekolah meski ada 2 teman yang diterima di sekolah yang sama. Lama kelamaan, setelah kuliah kemudian pasca kuliah, intensitas bertemu pun semakin berkurang. Perubahan itu niscaya adanya.

Meski setidaknya setahun 2-3 kali kami masih menyempatkan bertemu, tapi memang kesibukan masing-masing membuat kami juga lebih mengakrabi teman-teman baru, yang barangkali kini lebih intensif berinteraksi.

Ah, sahabatku, semoga di tiap-tiap doa kita tetap saling menyebut satu per satu nama kita.

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-22

Semangat Berbagi

Ada seorang teman halaqah lama yang sebenarnya sudah lama juga tidak berjumpa. Beliau dan suaminya memiliki usaha berjualan bakso di rumahnya. Punya teman seperti ini merupakan rejeki luar biasa, jadi tidak ragu lagi akan kehalalannya.

Selain insyaallah halal, baksonya pun enak, terkenal di kalangan mahasiswa UB, karena memang lokasi berjualannya di daerah kerto dekat kampus UB.

Dulu saat saya masih tinggal di kerto tentu suka beli baksonya, sayangnya sering tidak boleh membayar 😔. Semangat berbagi beliau luar buasa. Namun itulah yang bikin kadang saya sendiri jadi sungkan kalau beli di sana, begitu pun suami.

Paling kangen sama pangsit mie nya yang menurut saya paling pas rasanya. Perpaduan antara ayam suwir dan kerupuk pangsitnya pas sekali dengan mienya. Sayang sekarang sudah ganti dengan mie ayam yang gak kalah enaknya.

Setelah sekian lama tidak beli di sana, akhirnya kemarin sore saya beli melalui grabfood karena akan ada buka bersama di rumah dengan teman main SMP. Berharap jika order melalui grab tidak terdeteksi, eh ternyata penjual tetap saja tau siapa pembelinya. Driver datang dengan menenteng 2 kresek, 1 kresek berisi pesanan saya, 1 kresek lagi berisi bonus dari penjual, begitu kata drivernya.

"Loh, kok banyak sekali, Pak, bonusnya?"
"Katanya mbak temennya yang jual, ya?"
"Loh, memang penjual juga bisa tahu, ya, Pak, siapa pembelinya?"
"Iya, Mbak."

Masyaallah ... Beliau tetap saja seperti itu, semangat berbaginya luar biasa. Beliau tidak takut rugi ketika berbagi. Belum lagi ketika kami dulu sering diundang ke rumah beliau dan makan bakso gratis sepuasnya. Semoga selalu diberikan keberkahan untuk usahanya, ya, Mbak!

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-21