Rabu, 08 November 2017

Komunikasi Produktif #7

Saya dan suami bisa dibilang sama-sama suka baca buku. Dulu saat awal menikah ternyata banyak koleksi bukunya dan bukuku sama, sehingga kami memilih menyumbangkan koleksi yang sama tersebut ke perpustakaan milik teman. Membaca bagi saya adalah hal yang menyenangkan, saya bisa tahu banyak sekali hal baru dari membaca. Maka untuk anak-anak, kamipun ingin membiasakan mereka membaca sejak dini.

Saat Jundi masih bayi, pertama kali saya belikan buku adalah buku teether, sayang akhirnya harus terjatuh dan hilang saat kami mengajaknya jalan-jalan ke toko kain, karena dia suka dengan buku tersebut jadi dibawa kemana-mana. Berikutnya saya mulai membelikan buku bantal, dan alhamdulillah responnya juga cukup baik. Hingga saat ini usia Jundi sudah 5tahun alhamdulillah koleksi bukunya sudah semakin banyak walau ada beberapa yang hilang atau sobek sehingga sudah tidak bisa dibaca.

Beberapa waktu lalu suami saya tiba-tiba berpesan, "Sepertinya anak-anak dibelikan buku semacam ensiklopedia aja". Saya yang lihat ada promo sebuah ensiklopedia tidak berdiskusi dengannya dulu langsung main pesan, akibat terkena bujuk rayu covert selling bu penjual juga, katanya laku ratusan pcs hanya dalam hitungan 1 pekan, wow!

Begitu buku datang si anak langsung antusias, dan saya belum baca semua halamannya, tapi si bapak udah baca duluan, dan tibalah percakapan itu, "Ini buku terbitan apa?" tanya bapak.

"Hm? Gak tau, belum lihat" jawab saya polos, ah betapa teledornya saya kali ini.

"Lihat isinya ada A, B, C, D"

"Oya?" saya mendelikkan mata, shock karena sudah melakukan kesalahan. Saya coba membuka halaman-halaman yang dimaksud, ya benar, beberapa ada yang kurang sesuai dengan nilai di keluarga kami. Ah cerobohnya aku!

Akupun langsung terpikir untuk menjualnya, apalagi kondisi masih baru kemarin dibuka, namun saat aku ijin kepada Jundi ternyata dia tidak mengijinkan 😢. Bismillah buku ini masih aman jika dengan pendampingan.

"Gapapa yah insyaallah masih aman yang penting kita harus bisa menjelaskan ke anak-anak"

"Iya, anak-anak harus didampingi, lain kali Bunda harus lebih teliti lagi ya kalau membelikan buku anak-anak, lihat penerbitnya, "

"Iya yah, Bunda minta maaf ya, lain kali Bunda akan lebih hati-hati"

Alhamdulillah clear. Kaidah yang saya tekankan di cerita di atas adalah kaidah komunikasi produktif dengan pasangan : clear and clarify dan I'm responsible for my communication results. Dan tentunya harus tetap choose the right time dan keep eye contacts.

Karena anak-anak itu adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya ayah saja atau ibu saja. Semua yang kita lakukan hari ini akan dipertanggung jawabkan kelak, sudahkah memenuhi hak anak? Jangan sampai hanya karena ego pribadi anak jadi terabaikan dan kurang terpenuhi haknya.


#harike7
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Selasa, 07 November 2017

Komunikasi Produktif #6

Senin dini hari,

Mas Jundi tiba-tiba menangis mengeluhkan kaki dan tangannya gatal, sakit katanya. Berjeritan dia mengeluhkan keadaan dirinya. Entah digigit nyamuk entah semut entah apa, tapi memang di dada, kaki, tangannya terlihat merah-merah dan terdapat luka bekas gigitan.

Kami sekeluarga memang sedang menginap di rumah mertua, alias rumah orang tua suami. Rumah ibu mertua ada di Kabupaten Pasuruan, di sebuah daerah dengan cuaca yang cenderung jauh lebih panas dibanding Malang dan tentunya dengan pelengkap 'nyamuk' yang lebih wah banyaknya. Waktu saya tanyakan kepada suami mengapa daerah panas itu cenderung lebih banyak nyamuknya? Jawab suami karena nyamuk gak suka dingin 😅. Tapi memang kolerasi tersebut ada benarnya sih, jika saya menginap di Pasuruan saat cuaca lebih dingin dari biasanya maka nyamukpun tidak seheboh biasanya. Yang lebih tau tolong dikoreksi ya 😁.

Balik ke cerita mas Jundi, dia tak henti-hentinya menangis menjerit-jerit. Saya dan suami rasanya juga sangat mengantuk karena baru saja satu jaman sebelumnya si kembar baru bisa tertidur, karena udara sangat panas dibanding Malang, jadi si kembar susah mengawali tidurnya. Dalam kondisi yang kurang terkendali suami mulai emosi, begitu juga saya, nalar yang pendek menyulut emosi yang tinggi 😭. Awalnya kami berusaha menuruti, dioleskan minyak tawon ke seluruh bagian yang dia keluhkan sambil terus digosok untuk mengurangi gatalnya, tapi ternyata belum bisa mengurangi tangisan Jundi yang memecah keheningan malam.

"Diam mas Jundi diam, ini sudah tengah malam, banyak anak kecil disini, nanti mengganggu yang lain" saya terus berusaha mengaplikasikan komunikasi produktif, mengatakan apa yang kita inginkan, bukan yang tidak kita inginkan. Jadi disini saya mengganti kata 'jangan nangis' menjadi 'diam'.

Tapi sayang mas Jundi tetap menangis menjerit hingga kami pun hilang kendali untuk tetap menjaga intonasi suara dan tetap ramah. Hingga akhirnya saya berinisiatif memandikan mas Jundi tengah malam. Sedari Jundi masih berumur sekitar 2tahun ketika dia menangis tak terkendali maka solusi terakhir adalah memandikannya atau menuntunnya berwudhu. Saya berpegang pada hadits tentang anjuran berwudhu ketika marah.

Dari Athiyyah as-Sa’di Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.(HR. Abu Daud, no. 4784. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Setelah mandi, dia langsung diam? Tidak! Saya pakaikan dia baju lalu dioleskan lagi minyak-minyak pereda gatal. Saya berusaha waras, "Diam ya mas Jundi, diam nak," lalu kami berikan dia minum. Beberapa saat kemudian alhamdulillah mulai tenang dan dia tertidur, barangkali kecapekan juga setelah menangis menjerit selama kurang lebih 1 jam. Ah!

#harike6
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Senin, 06 November 2017

Komunikasi Produktif #5

Kemarin saya sukses mewek terharu dan beberapa kali meneteskan air mata yang saya tahan-tahan karena saya lihat kiri kanan depan belakang gak ada ibu-ibu yang cengeng seperti saya. Entahlah, saat acara haflah level 2 Raudhatul Qur'an Jundi kemarin beberapa kali ada getar yang tertahan di dalam hati lalu membuat mata saya sukses mengembun. Ada rasa haru yang entah, luluh melihat para pejuang cilik al-qur'an yang termasuk di dalamnya anak saya sendiri.

Alhamdulillah Allah mudahkan mas Jundi menyelesaikan hafalan juz 29 nya meski beberapa surat nilainya jayyid dan jayyid jiddan, mumtaz hanya 3 dari 10 surat di juz 29. Hal ini tentu sangat jauh dengan pencapaiannya saat menghafal juz 30 yang kesemua surat mendapat nilai mumtaz. Bagi saya itu sama sekali tak masalah, karena dalam kondisi sekarang saja saya merasa bahwa hasilnya sangat jauh lebih baik dari usaha yang sudah saya lakukan. Saya merasa sendiri bahwa di level 2 ini saya sering kendor dan luluh dengan rengekan Jundi yang sangat sering meminta ijin tidak berangkat hanya karena malas atau kecapekan. Saya pun kurang konsisten dalam memurajaah serta mentasmi hafalannya di rumah. Tapi ternyata Allah tetap membuat anak saya bisa lulus dari level ini 😭.

Beberapa hari sebelum haflah saya meragukan, apakah Jundi juga lulus sehingga ikut haflah?  Sedang level 2 ini semua santri harus sudah lancar ummi 4, sedang Jundi masih jauh. Namun ternyata menurut ustadzahnya Jundi lulus dan bisa mengejar bacaannya di level 3, surat al-baqarah (tantangan semakin berat karena emaknya belum hafal).

Sebelum berangkat haflah, saya sampaikan kepada sosok berpakaian putih-putih itu, "Alhamdulillah bunda bangga nak, Jundi anak hebat, jundi anak shalih, alhamdulillah Jundi bisa menyelesaikan hafalan juz 29" lalu saya kecup pipinya yang semakin hari semakin gelap karena sering bermain di bawah terik siang. Saya lakukan pujian sesuai kaidah komunikasi produktif kepada anak-anak yang salah satunya adalah jelas dalam melakukan pujian atau kritikan, tak sekedar bilang hebat atau pintar, tapi kita harus menunjukkan hebat karena apa yang sudah dia lakukan.

#harike5
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Minggu, 05 November 2017

Komunikasi Produktif #4

Jadi ternyata menurut Albert Mehrabian suara yang keluar saat kita berkomunikasi itu cuma berpengaruh 7% terhadap lawan bicara, sedang sisanya 38% adalah intonasi dan 55% bahasa tubuh. Dan kalau saya amati memang begitu adanya, terkadang chatting ponsel yang hanya text bisa multitafsir karena kita gak tau benar bagaimana intonasi dan mimik wajah si pembawa pesan (ya walau banyaknya emoticon cukup memudahkan untuk membayangkan ekspresi si pembawa pesan), maka untuk hal-hal sensitif memang sebaiknya dibicarakan dengan tatap muka, offline.

Begitu pula dengan komunikasi dengan anak-anak, salah satu kaidah komunikasi produktif dengan anak-anak adalah dengan mengendalikan intonasi bicara. Dan ternyata permainan intonasi serta bahasa tubuh ini saya praktekkan dalam membacakan buku ke putri kembar saya membuat beberapa hari terakhir ini efektif mereka duduk anteng mendengarkan sambil ikut melihat buku yang dibaca. Dan yang amaze beberapa kali mereka bisa anteng hingga selesai beberapa buku, padahal rentang konsentrasi mereka masih sangat rendah di usianya yang masih 2 tahun. Amaze banget kan ya, alhamdulillah.

Tentang intonasi dan bahasa tubuh ini, saya juga ingin bercerita tentang kejadian hari kemarin saat saya dan anak-anak saya ajak antar kain ke penjahit. Dalam kondisi jalanan cukup macet, kursi mobil agak sempit karena ada beberapa gulung kain menumpuk, apalagi udara cukup panas (mas Jundi gak pernah mau kalau AC dinyalakan, katanya bikin dia muntah 😓), sip banget kondisinya bikin krucil 'rame'. Si Jundi yang bosan malah sibuk mencari cara menggoda adiknya (eh dia sampai duduk di bagasi juga lho 😅). Dan lucunya si Fasya yang digodain marah dengan ngomel-ngomel gak jelas apa isi kalimatnya, tapi dengan intonasi marah serta mimik wajah marah siapapun akan tau kalau dia sedang marah, jadi memang terbukti text yang 7% tadi kadang gak terlalu penting jika mimik dan bahasa tubuh lebih berbicara. Tapi memang begitulah kebiasaan Zalfasya belakangan yang kosa katanya sedikit tertinggal dari saudara kembarnya Faradilah.

Lalu pertanyaannya adalah saya, bagaimana saya dalam kondisi seperti itu tadi, anak tengkar gak jelas, jalanan macet ditambah udara yang cukup hot. Kondisi ini tentu membuat orang lebih mudah tersulut emosi, maka yang saya lakukan adalah mengingatkan dengan tegas tapi tetap ramah dan menjaga intonasi. Ah, komunikasi produktif memang harus banyak dilatih!

#hari4
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Sabtu, 04 November 2017

Komunikasi Produktif #3

Mas Jundi lagi-lagi kemarin hectic dulu sebelum berangkat sekolah, pasalnya dia kurang berhati-hati saat berkumur seusai sikat gigi hingga berdarah banyak sekali. Jadi dia suka berkumur dengan cara mulut langsung mengambil air dari kran, naasnya kemarin kran sampai melukai gusi bagian atasnya, sehingga timbul luka yang saya lihat cukup dalam.

Dalam kondisi masih memakai handuk belum berganti baju dia teriak-teriak menangis kesakitan, dan darah terlihat mengucur deras dari gusinya. Saya berusaha untuk tetap tenang tidak panik, berpikir waras, karena nalar yang panjang maka akan sedikit emosi, sedang nalar pendek akan menghasilkan banyak emosi.

"Iya sebentar, sabar ya, coba bunda bersihkan dan bunda kasih minyak zaitun. Lain kali hati-hati ya, kumur pakai gayung saja" saya berusaha fokus pada solusi, bukan pada masalah, sesuai kaidah komunikasi produktif dengan anak-anak.

Mas Jundi pun tetap menangis dan mencoba membela diri, "Tadi kan air di gayung kotor ada sabunnya, jadi Jundi langsung ke kran,"

"Iya, lain kali kan bisa minta bunda ganti airnya, mas Jundi biasanya kan memang suka kumur langsung dari kran, " sambil terus berusaha menjaga intonasi saya jelaskan, dan darah alhamdulillah sudah bersih tinggal beberapa kali lagi diberi minyak zaitun pada luka.

Lalu tangispun reda, baju seragam telah terpakai dan mas Jundi siap berangkat sekolah. Love you my son, ajari bunda untuk selalu berlatih agar komunikasi di antara kita semakin produktif.

#hari3
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Jumat, 03 November 2017

Komunikasi produktif #2

Kemarin, seperti biasa, pulang sekolah mas Jundi sampai rumah maunya main dulu. Belum ganti baju, pipis dan cuci kaki dia selalu sudah sibuk dengan 'sesuatu'. Beberapa kali saya ingatkan, "Ayo mas Jundi pipis dulu, ganti baju, baru boleh main, trus maem, tidur, nanti ngaji". Namun dia masih saja sibuk dengan 'mainan' dia seolah tidak mendengar apa yang saya katakan.

Dan saya pun baru teringat materi tentang komunikasi produktif yang baru saya dapatkan di kelas Bunda Sayang, (masih belum merasuk nih jadi masih suka lupa, memang harus terus 3L, latih latih latih) yaitu cara berkomunikasi dengan anak-anak. Salah satunya adalah dengan KISS (keep information short & simple). Ah ya, saya harus mengubah kalimat yang bertubi-tubi menjadi kalimat sederhana pada tindakan yang harus dia lakukan pertama kali.
"Mas Jundi, ayo ganti baju dulu" dengan intonasi yang diatur dan diusap punggungnya. Dan ya, dia manut, baru saya lanjut perintah berikutnya. Ah, betapa indahnya jika telah terbiasa berkomunikasi produktif. Harus banyak Latih, Latih, Latih.

#hari2
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip