Senin, 15 Desember 2014

KEMANDIRIAN JUNDI



Jundi, putra pertamaku ini kini sudah berumur 2 tahun 6 bulan, 2,5 tahun. Bersamanya aku banyak belajar hal baru. Tentang arti sebuah perhatian, kepercayaan, dan banyak hal lain dalam hidup ini. Orang dewasa harus banyak belajar dari kehidupan seorang balita, keluguan, kepolosan, kejujuran, dan segalanya. Merekalah sesungguhnya fitrah dari kehidupan yang belum terkontaminasi. 

Hari ini aku memperhatikan satu hal dari diri seorang Jundi, kemandirian. Barangkali semua orang tua akan senang dan bangga jika memiliki anak yang mandiri. Tapi aku juga sadar, ada satu sisi dalam sudut hatiku yang sedikit tersentil ketika melihat kemandiriannya. Aku seakan merasa dia akan segera terlepas dariku dan tak lagi membutuhkanku. Bukankah salah satu kebahagiaan adalah merasa dibutuhkan orang lain? Ah, tapi ini beda kawan, dari ketergantungan sepenuhnya saat masih janin, lalu asi ekslusif, mp asi, dan kini setelah kusapih semakin banyak hal kemandirian yang terbentuk dalam dirinya.

Sore tadi aku tersentil saat dia memintaku pulang ke rumah saat dia berada di rumah Eyangnya. “Undi inggal” begitu katanya, maksudnya Jundi ditinggal saja. Ah, padahal waktu itu dia sedang makan. Walau dia makan sendiri tapi setiap makan sendiri aku selalu menemaninya, mengambili bulir-bulir nasi yang terlewat dari mulutnya. Tapi kali ini tidak, dia tak mau kutemani, dia memilih makan di sebelah O (panggilan Jundi untuk Omnya) yang juga sedang makan. Terkadang ada rasa khawatir dia akan merepotkan ketika aku meninggalkan dia di rumah Eyangnya sendiri. Maka sebelum aku meninggalkannya pulang aku mengambil janji lagi dari mulutnya, “Jundi kalo mau pipis bilang O ya, janji?” “Anji” ucap dia sambil mengacungkan 1 jarinya ke atas.

Ah, anakku semakin hari semakin keluar banyak sisi kemandirian dalam dirinya. Pertama kali saat dulu sekitar usia 1 tahun dia sudah suka meminta makan sendiri, walau aku memang tidak menerapkan BLW untuk Jundi. Keinginannya untuk bisa seperti orang dewasa sangat kuat. Maka ketika tiap kali makan aku sudah menyediakan perlak untuknya, agar makanan yang tercecer tidak terlalu membuat lengket lantai dan susah dibersihkan. Tapi bagaimanapun harus aku akui untuk menumbuhkan sisi kemandirian yang satu ini butuh banyak sekali stok sabar, mulai makanan tercecer dimana mana sampai makanan di piring dibuat mainan layaknya pasir dengan sendoknya.

Barangkali sebelum itu sudah banyak sisi-sisi lain dalam kemandiriannya, seperti akhirnya bisa berjalan sendiri atau yang lainnya.

Seketika aku pun teringat pada masa kecilku dulu. Aku dulu mulai usia TK tinggal dengan Eyangku, Ibuku menikah lagi. Walau masih dalam 1 kota tapi aku tinggal dengan Eyang. Ibu bertemu denganku barangkali minimal 1 pekan 1 kali, saat Ibu ada waktu luang dari pekerjaan untuk bisa mengunjungiku. Suatu kali Ibu ada waktu saat aku masih sekolah, waktu itu aku masih kelas 1 SD (seingatku). Karena ingin bertemu maka Ibu mengunjungi sekolahku, namun sayang aku justru tidak mau menemui Ibu lama-lama. Pikirku kala itu, ‘Ah ngapain Ibu ke sekolah, aku kan sudah besar, aku sudah bisa melakukan semua sendiri’. Untuk seorang aku, barangkali kemandirian harus datang jauh lebih cepat daripada semua teman sebayaku. Aku tinggal dengan seorang Eyang tua, maka aku harus bisa mengerjakan semua sendiri. Masih usia SD aku sudah bisa memasak nasi sendiri (waktu itu belum ada rice cooker) dan memasak lauk sendiri. Bahkan untuk mencuci, setrika dan yang lainnya sering kukerjakan sendiri.

Bagaimanapun lewat keadaan seorang bisa menjadi ‘terpaksa’ mandiri. Namun keterpaksaan lambat laun akan menjadi biasa. Dan lagi-lagi aku percaya, di dunia ini tidak ada yang sia-sia, semua pasti ada hikmahnya.

Untuk Jundi, Bunda menyayangimu dan menginginkan semua yang terbaik untukmu. Peluk dan cium hangat untukmu sayang.

Malang, 15 Desember 2014
9.14

0 komentar:

Posting Komentar