Tentang menyusui, aku ingin sedikit berbagi.
Awalnya aku sangat awam tentang pentingnya ASI. Setelah melahirkan bagiku tidak menjadi persoalan ketika susu formula memasuki mulut anak pertamaku. ASI yang kuproduksi di hari-hari pertama aku menjadi ibu memang sangat sedikit, dan aku masih belum terlatih untuk menyusui. Menggendongnya dengan benar, lalu membantu dia mengulum putingku dengan benar. Hal itu bukan hal yang mudah, apalagi untuk aku yang seumur-umur belum pernah berani gendong bayi baru lahir. Ditambah lagi Ibuku yang menjadi Eyang baru pun ketakutan jika anakku kekurangan cairan karena ASIku yang belum lancar. Sedikit aku memang tahu, bahwa di awal kehadirannya di dunia ia tak membutuhkan cairan yang terlalu banyak. Bayi baru lahir lambungnya berukuran sebesar kelereng, cukup 3 sendok teh saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Namun terkadang karena ilmu yang kurang kita jadi kurang sabar menyusui dengan segala kesulitannya, padahal Allah sudah dengan begitu sistematisnya mengatur semuanya. ASI keluar sedikit memang karena bayinya masih butuh cairan sedikit.
Godaan sufor di 24 jam pertama kelahirannya pun sukses, anakku meneguk sufor itu dari botol bernama dot yang katanya justru bikin bayi nggak mau mengulum puting Ibunya. 30 ml pertama, bayiku sukses menghabiskan. Tapi aku tak menyerah begitu saja, tiap kali dia menangis, aku tetap berusaha menyusui dengan baik. Dan merah-merah di kedua pipi bayiku menjadi bukti bahwa proses menyusui ini belum benar, ASI masih harus tercecer di wajah bayiku hingga membuat pipinya ruam susu. Aku pun sempat menangis, mengadu ke suami, mengapa ASI ku Cuma sedikit. Dan suamiku pun menyemangatiku, bahwa aku bisa, itu semua hanya dari sugesti, semakin kita stress semakin ASI susah keluar.
Keyakinan bahwa ASI dipengaruhi hormone oksitoksin, hormone kebahagiaan membuat hari-hari setelahnya justru membuatku kualahan, ASIku keluar berlebih hingga aku harus mengenakan breastpad agar bajuku tidak basah. Dan ternyata breastpadpun belum cukup membendung, jadilah kain popok penyerap.
Namun hal itu tidak berhenti begitu saja, di hari-hari awal kelahirannya, hamper tiap malam dia terbangun, membuat aku, suamiku, ibuku, atau bahkan ibu mertuaku –ketika sedang di Malang- seringkali terbangun. Dalam kondisi kantuk berat serta tubuh yang belum bisa menggendong dengan baik tiap malam-malam pertama aku kesusahan untuk menyusui bayiku. ASI sudah keluar deras namun bayiku belum bisa berposisi secara nyaman, sehingga dia tetap merengek, menangis. Masalah inilah yang membuat 30 mL sufor kembali mengalir ke mulut bayiku, dalam dekapan Ibuku, miris.
Hari-hari berikutnya aku cukup bisa mengatasi, aku pun diperkenalkan suamiku pada komunitas peduli ASI yang aktif di twitter. Sejak itu aku mulai lebih peduli, bahwa tidak ada yang lebih baik dari ASI. Dan di suatu malam saat Ibuku kembali ingin mengucurkan cairan asing itu ke mulut bayiku, kotak sufor itu tak lagi ada, tanpa sepengetahuanku kotak itu telah disembunyikan oleh suamiku. Setelah tahu bahwa sufor membuat pencernaan bayi bekerja terlalu keras sehingga si bayi jika diberi sufor lebih cepat tertidur membuat aku dan suami begitu anti dengan sufor. Kami tak mau menyiksa pencernaan bayi kami, kami begitu mencintainya. Ditambah lagi beberapa kekurangan sufor yang kata orang membuat bayi suka mengompol dan konstipasi.
Aku bersyukur memiliki suami yang telah melek terhadap pentingnya ASI. Beruntunglah bahwa hanya sekitar 90 mL saja cairan asing itu memasuki pencernaan bayiku. Hingga kini dia murni kususui, tanpa ada tambahan sedikitpun asupan lain. Dan aku berazzam ingin menyusuinya sampai dia genap 2 tahun, sebagaimana telah dianjurkan dalam al-Qur’an surat Luqman 31 : 14.
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun.
13 Oktober 2012 – 18 Oktober 2012