Sebenarnya ini bukanlah pertama kalinya saya susur sungai Martapura, sekitar tahun 2010 saya sudah pernah susur sungai Martapura namun dengan tujuan Pulau Kembang. Untuk kali ini susur sungainya dari Soto Banjar Bang Ahmad ke pasar terapung Lok Baintan.
Pasar terapung Lok Baintan adalah pasar terapung asli yang ada sejak jaman dahulu. Saat ini mulai banyak bermunculan juga pasar terapung buatan meniru pasar terapung yang asli. Bahkan tidak hanya di Banjar, namun di kota lain juga saya dengar mulai bermunculan.
Perjalanan dimulai sejak pagi sekitar pukul 6 wita dari rumah saudara saya di Sultan Adam agar saat sampai pasarnya masih ada, katanya kalau kesiangan pasarnya bakal sudah bubar. Sampai Soto Banjar Bang Ahmad saya tidak memperhatikan sudah jam berapa, yang jelas kami langsung menyewa perahu motor untuk diantar ke Lok Baintan (eh maaf yang nyewa saudara saya ๐ ).
Di perjalanan saya hanya bisa sedikit sekali mengabadikan gambar dengan HP, karena malam sebelumnya suami yang saya mintai tolong untuk mencharge HP saya ternyata memasangnya kurang tepat sehingga sama sekali tidak mengisi, jadi baterai saya saat itu sudah di ambang batas akan habis. Jadilah saya lebih banyak merekam dengan mata saya dan lebih menikmati pemandangan alam serta budaya yang begitu menarik untuk disimpan.
Di sepanjang perjalanan banyak rumah penduduk berjajar di tepi sungai, rumah mereka adalah rumah panggung yang langsung dibangun di atas sungai. Berbagai aktivitas terlihat dari perahu yang saya naiki, mulai dari mandi di tepi rumah langsung mengambil dari air sungai, anak-anak bermain, hingga ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Mereka menggunakan ember yang diberi tali panjang sehingga bisa digunakan mengambil air sungai dari rumahnya yang lebih tinggi. Kupikir pasti setiap orang sungai pintar berenang.
Hal lain yang menarik, karena sungai merupakan jalur transportasi, maka di tepian sungai banyak rambu-rambu lalu lintas seperti halnya di jalan raya (ah lagi-lagi gak ada fotonya, gak seru, hiks). Selain itu menurut saudara saya dulu masih ada transportasi umum jalur sungai, namun sekarang sudah tidak ada lagi, karena kebanyakan rumah juga sudah memiliki perahu sendiri.
Hal unik lainnya ada juga toko kelontong di rumah yang menghadap sungai, jadi kalau mau beli ya pakai perahu lalu berhenti di depan tokonya untuk bertransaksi.
Dan tak terasa sampailah di pasar terapung Lok Baintan, tahukah apa yang terjadi? Perahu motor yang kami naiki langsung diserbu oleh perahu-perahu para pedagang pasar. Mereka mengerubungi kami hingga saya sendiri bingung mesti menanggapi penjual yang mana. Semua saling bersahutan menawarkan dagangannya, dan saya pun jauh-jauh ke sana malah beli jeruk dari salah seorang penjual ๐ . Bukan khas sana ya.
Tak lama kemudian ada ponakan yang naik ke perahu salah seorang penjual untuk merasakan sensasi naik perahu, tak ketinggalan saya pun ditawari salah seorang penjual. Dan yak, sekali saya keluar dari perahu motor menuju perahu kayu rasanya jantung saya berdetak lebih kencang (mana gak bisa berenang). Perahu sedikit oleng saat saya mulai mencari posisi untuk duduk.
"Tenang Mbak harus tenang," begitu kata penjual. Sepertinya dia juga khawatir misal harus ikut tercebur gara-gara ulah saya.
'Oke tenang, tenang,' kata saya dalam hati sambil menarik nafas panjang lalu duduk menikmati sensasinya.
Total 4 orang termasuk saya yang ikut naik ke perahu penjual, ikut jualan gitu, haha. Kami diajak keliling namun masih di sekitar perahu motor, tidak terlalu jauh. Setelah berfoto dan cukup jenak akhirnya waktunya kami harus balik ke perahu motor. Eh ternyata konsekuensinya kami harus beli salah satu dari barang yang dijual pedagang, dan saya akhirnya beli jeruk lagi, wkwkwk. Jadilah ke malang bawa satu tas jeruk penuh ๐ .
Waktu saya cerita ke salah satu teman yang tinggal di Banjar juga, ternyata gak semua temennya kalau pas diajak ke sana berani naik perahu kayu lho, berarti aku termasuk nekat kali ya, wkwkwk.
Semoga diberi kesempatan mentadaburi bumi Allah yang lain lagi, aamiin.
Agie Botianovi
15 Oktober 2018
Pasar terapung Lok Baintan adalah pasar terapung asli yang ada sejak jaman dahulu. Saat ini mulai banyak bermunculan juga pasar terapung buatan meniru pasar terapung yang asli. Bahkan tidak hanya di Banjar, namun di kota lain juga saya dengar mulai bermunculan.
Perjalanan dimulai sejak pagi sekitar pukul 6 wita dari rumah saudara saya di Sultan Adam agar saat sampai pasarnya masih ada, katanya kalau kesiangan pasarnya bakal sudah bubar. Sampai Soto Banjar Bang Ahmad saya tidak memperhatikan sudah jam berapa, yang jelas kami langsung menyewa perahu motor untuk diantar ke Lok Baintan (eh maaf yang nyewa saudara saya ๐ ).
Di perjalanan saya hanya bisa sedikit sekali mengabadikan gambar dengan HP, karena malam sebelumnya suami yang saya mintai tolong untuk mencharge HP saya ternyata memasangnya kurang tepat sehingga sama sekali tidak mengisi, jadi baterai saya saat itu sudah di ambang batas akan habis. Jadilah saya lebih banyak merekam dengan mata saya dan lebih menikmati pemandangan alam serta budaya yang begitu menarik untuk disimpan.
Di sepanjang perjalanan banyak rumah penduduk berjajar di tepi sungai, rumah mereka adalah rumah panggung yang langsung dibangun di atas sungai. Berbagai aktivitas terlihat dari perahu yang saya naiki, mulai dari mandi di tepi rumah langsung mengambil dari air sungai, anak-anak bermain, hingga ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Mereka menggunakan ember yang diberi tali panjang sehingga bisa digunakan mengambil air sungai dari rumahnya yang lebih tinggi. Kupikir pasti setiap orang sungai pintar berenang.
Hal lain yang menarik, karena sungai merupakan jalur transportasi, maka di tepian sungai banyak rambu-rambu lalu lintas seperti halnya di jalan raya (ah lagi-lagi gak ada fotonya, gak seru, hiks). Selain itu menurut saudara saya dulu masih ada transportasi umum jalur sungai, namun sekarang sudah tidak ada lagi, karena kebanyakan rumah juga sudah memiliki perahu sendiri.
Hal unik lainnya ada juga toko kelontong di rumah yang menghadap sungai, jadi kalau mau beli ya pakai perahu lalu berhenti di depan tokonya untuk bertransaksi.
Dan tak terasa sampailah di pasar terapung Lok Baintan, tahukah apa yang terjadi? Perahu motor yang kami naiki langsung diserbu oleh perahu-perahu para pedagang pasar. Mereka mengerubungi kami hingga saya sendiri bingung mesti menanggapi penjual yang mana. Semua saling bersahutan menawarkan dagangannya, dan saya pun jauh-jauh ke sana malah beli jeruk dari salah seorang penjual ๐ . Bukan khas sana ya.
Tak lama kemudian ada ponakan yang naik ke perahu salah seorang penjual untuk merasakan sensasi naik perahu, tak ketinggalan saya pun ditawari salah seorang penjual. Dan yak, sekali saya keluar dari perahu motor menuju perahu kayu rasanya jantung saya berdetak lebih kencang (mana gak bisa berenang). Perahu sedikit oleng saat saya mulai mencari posisi untuk duduk.
"Tenang Mbak harus tenang," begitu kata penjual. Sepertinya dia juga khawatir misal harus ikut tercebur gara-gara ulah saya.
'Oke tenang, tenang,' kata saya dalam hati sambil menarik nafas panjang lalu duduk menikmati sensasinya.
Total 4 orang termasuk saya yang ikut naik ke perahu penjual, ikut jualan gitu, haha. Kami diajak keliling namun masih di sekitar perahu motor, tidak terlalu jauh. Setelah berfoto dan cukup jenak akhirnya waktunya kami harus balik ke perahu motor. Eh ternyata konsekuensinya kami harus beli salah satu dari barang yang dijual pedagang, dan saya akhirnya beli jeruk lagi, wkwkwk. Jadilah ke malang bawa satu tas jeruk penuh ๐ .
Waktu saya cerita ke salah satu teman yang tinggal di Banjar juga, ternyata gak semua temennya kalau pas diajak ke sana berani naik perahu kayu lho, berarti aku termasuk nekat kali ya, wkwkwk.
Semoga diberi kesempatan mentadaburi bumi Allah yang lain lagi, aamiin.
Agie Botianovi
15 Oktober 2018