Tentang memandikan bayi, aku ada
sedikit cerita untuk dibagi. Seperti banyak cerita ibu-ibu baru ataupun lama
yang kudengar, bab ini merupakan bab yang cukup susah untuk dilakukan. Tidak
semua Ibu mampu, walaupun harusnya secara naluriah dia harusnya mampu. Tapi
menurutku hal ini bukan masalah mampu atau tidak mampu, tapi berani atau tidak
berani.
Memandikan bayi menjadi rumit karena sabun bersifat licin. Setiap orang juga pasti akan ada ketakutan jika si bayi saat dimandikan luput dari cengkeraman tangan. Ditambah ukuran bayi yang masih mini membuat kerumitan itu semakin sempurna.
Setelah kelahiran bayi tentu hal ini menjadi momok bagi sebagian besar Ibu, terutama Ibu baru. Tali pusar yang belum lepas membuat beberapa Ibu tidak berani memandikan bayinya sendiri. Begitu juga dengan aku, Ibu baru yang bahkan untuk menggendong bayi pun aku belum berpengalaman, apalagi untuk memandikan. Ibuku, si Eyang baru yang pernah memiliki 3 anak itu pun mengaku tidak berani, sudah lupa, begitu katanya. Dan jadilah mbak perawat dari Puskesmas yang tiap pagi dan sore harus ke rumah guna memandikan bayiku, hingga tali pusarnya lepas.
Waktu sepekan terasa berjalan
begitu cepat, Selasa pagi itu pun tali pusar bayiku lepas. Terhitung 6 hari
jika dihitung dari kelahirannya hari Rabu sore. Walau tugas mbak perawat
memandikan sudah usai, namun Ibuku meminta sore harinya untuk masih memandikan
bayiku. Ini artinya inilah saat terakhir aku belajar memandikan, mengikuti
gerak-gerik mbak perawat dari awal melepas baju hingga memakaikan bedong dengan
baik. Esok hari mbak perawat tidak akan pergi ke rumah Ibuku lagi untuk
memandikan bayiku.
Hari pertama tanpa mbak perawat,
Ibuku yang berperan memandikan bayiku di pagi hari. Dan sore hari giliran Ibu
mertuaku yang turut menginap di rumah Ibuku untuk menyambut cucunya yang
keempat. Semua berjalan begitu saja tanpa aku ikut memikirkan. Sebelum bayiku
mandi, aku sudah masuk kamar mandi, dan begitu aku selesai mandi bayiku telah
siap untuk kususui.
Hingga hari itupun tiba, saat ibu
mertuaku harus pulang ke Pasuruan, dan Ibuku sedang bekerja di kantor. Aku
harus memandikan bayiku sendiri. Bayiku yang baru berusia 8 hari bagiku masih
terlalu mungil untuk bisa kumandikan sendiri. Tapi mau tak mau aku harus mau.
Siapa lagi yang akan memandikan dia? Adikku yang baru duduk di SMA? Rasanya
tidak mungkin. Atau suamiku? Atau ayahku? Apalagi adik laki-lakiku yang baru
duduk di SD. Semua orang yang ada di rumah rasanya tidak mungkin, hanya aku
yang berpeluang paling besar. Aku Ibu si bayi, harusnya aku punya naluri untuk
memandikan si bayi.
Dan jadilah saat pertama itu begitu
menegangkan. Namun tak seperti yang lain, aku punya peraturan sendiri. Bak
mandi yang berisi air hangat harus dibawa ke dalam kamar. Pikirku hal itu tidak
akan menyulitkanku saat mengangkat bayi licin bersabun ke dalam bak mandi.
Begitu pula saat selesai memandikan bayi.
Sebelum si bayi kutelanjangi, semua
perlengkapan pakaiannya telah kutata dengan rapi, mulai dari lapisan paling
bawah bedong, baju panjang, popok, dan terakhir gurita, tak lupa sarung tangan
dan kakinya. Setelah semua rampung, giliran bayiku mulai kutelanjangi, kucopoti
semua kain yang membungkus tubuh mungil itu, lalu perlahan kusabuni tubuhnya
pelan-pelan. Dan bayiku pintar, tidak seperti saat masih bertali pusar, dia sekarang
tidak lagi menangis saat dimandikan. Setelah semua kurasa bersih, kuangkat
tubuh mungil dan licin itu ke dalam bak mandi, kusiramkan air dalam bak perlahan
ke semua tubuhnya. Tangan kiriku memegang lehernya, dan tangan kanan yang
menyiramkan air hangat ke tubuhnya. Geraknya yang cukup lincah membuat aku
harus extra hati-hati, ditambah tangisannya saat dimandikan, mungkin luka bekas
tali pusarnya masih sakit jika terkena air. Namun sampai terbedong rapi semua
berjalan lancar, aku sukses di kali pertama memandikan bayiku.
Di hari ke sepuluh, aku dan suami
telah memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal kami sendiri, karena di hari
ke empat belas telah kami persiapkan untuk menyelenggarakan aqiqah di rumah
kami sendiri. Hari pertama menjadi ibu di rumah sendiri si eyang dan si tetet –adikku
perempuan- memilih untuk menginap di rumahku, mereka masih ingin menemani
Jundi, dan tentunya membantuku beres-beres rumah yang sekitar 2 pekan tidak
dihuni.
Hari kedua tantangan sebenarnya
untuk kami berdua dimulai. Sebagai orang tua baru tentu kami masih belum lihai
dalam mengatasi permasalahan bayi, dan di hari pertama kami hanya bertiga di
rumah menjadi hal baru yang amazing. Dengan
tubuhku yang belum sempurna pulih aku harus berbagi tugas dengan si ayah. Dan tentunya
aku lah yang bertugas memandikan si ganteng jundi.
Hari demi hari aku merasa makin
lihai memandikan si jundi, dia sudah tidak lagi menangis ketika kumandikan,
namun anehnya justru saat diangkat dari air dia menangis, mungkin kedinginan. Dan
saat handuk sudah ditelungkupkan dia pun kembali diam. Berbeda dengan dia kini
yang sudah semakin besar, jika dimandikan dia selalu tertawa-tawa, bahagia.
14 –
19 Oktober 2012
*masih ada lanjutannya :)
0 komentar:
Posting Komentar