Persalinan janin dari alam rahim ke alam dunia. Proses ini tentu sebuah proses yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua ibu hamil. Ibu hamil itu termasuk aku, aku yang saat ini sedang berbadan tiga di usia kehamilan 36 minggu. Aku tak menyebut berbadan dua, karena dari hasil pemeriksaan insyaallah anak yang kukandung kembar 2.
Terdengar menggembirakan ketika akan ada 2 bayi yg akan lahir dari 1 rahim dalam sekali waktu. Tapi ingat juga kawan, kembar itu resikonya lebih tinggi daripada hamil tunggal. Aku paham itu, sangat paham. Namun aku yakin Allah memberikan sesuatu sesuai kemampuan hambaNya. Dengan kehamilan ini aku sedang berusaha mengoptimalkan diri untuk berdo'a dan memberdayakan diri agar amanah ini bisa aku emban seoptimal yang aku mampu.
Kehamilan ini adalah kehamilan yang berbeda dengan kehamilan pertamaku dulu yang cenderung tidak banyak belajar karena sibuk skripsi (alesan). Alhamdulillah aku dipertemukan dengan orang-orang yang menguasai ilmu gentle birth, atau belum bisa dibilang menguasai tapi sedang mempelajari, setidaknya tidak ada kata berhenti untuk belajar bukan? Beberapa teman baik itu teman SMA atau teman kuliah, atau teman-teman dumai yang belum pernah ketemu menarikku untuk semakin belajar tentang gentle birth. Dan akhirnya aku pun dipertemukan dengan bidan Rina, praktisi gentle birth yang ada di Malang.
Tak banyak yang tahu tentang apa itu gentle birth, begitupun aku, dulu. Sekarang juga ga paham banget sih, tapi sedikit-sedikit tahu lah. Intinya sih kalo dari asal kata ya melahirkan dengan lembut. Eh begimane coba melahirkan dengan lembut? Padahal kan dimana mana yang namanya melahirkan itu ya sakit, jerit-jerit, dan lain-lain yang image nya udah kagak enak aja.
Nah, di bidan Rina ada yang namanya kelas prenatal, di kelas ini jadi bisa sedikit banyak belajar juga tentang gentle birth. Bagaimana mengelola rasa sakit, merelaksasi diri, hingga menyambut bayi dengan penuh senyum. Intinya gak ada yang namanya trauma, baik itu untuk Ibu dan bayi. Dan satu hal yang penting bahwa melahirkan itu salah satu ladang jihad buat wanita, lalu mengapa kita tidak menyambutnya dengan senyum? Kalo kata bidan rina 'ntar malaikatnya bingung nyatet amalannya, ini ikhlas gak njalaninnya?' karena kembali lagi semua ibadah ujungnya satu, ikhlas karena Allah.
Kelas ini menurutku wajib diikuti oleh semua bumil dan suami atau pendamping persalinan (misal Ibu/calon nenek). Kalo aku sih ikutnya dengan suami, karena bagaimanapun ada apa-apa yang duluan ya suami, bukan Ibu, walau ntar mungkin juga seperti pas melahirkan Jundi sih, didampingi suami dan Ibu.
Pertanyaan polosku saat ikut kelas adalah....gimana rasanya kontraksi? Walau pernah melahirkan sekarang aku seperti lupa bagaimana rasanya, mungkin karena dulu aku tidak menikmatinya ya, lebih fokus pada rasa sakitnya sampek lupa semua. Jawab bidan Rina ya kontraksi memang tidak bisa digambarkan bagaimana rasanya, tapi nanti juga pasti tahu sendiri gimana rasanya :). Aku menunggu rasa itu datang pada waktunya, setidaknya 1 pekan lagi saat usia kandunganku sudah 37weeks. Ah bagaimana nikmatnya kadang aku tak sabar menunggu, tapi biarlah waktu yang menjawab agar bayiku sudah cukup matang segalanya dan hadir dalam kondisi sehat semua, aamiin.
Ingatanku jadi melayang ke kisah persalinanku sekitar 3 tahun lalu, aku berusaha mengingat-ingat bagaimana dulu proses aku melahirkan Jundi. Waktu itu 20 Juni 2012, 4 hari sebelum HPL (HPL tanggal 24 Juni 2015). Malamnya aku sudah sounding terus ke perut kalo Bunda pengen cepet ketemu, memeluk, dll. Susah tidur juga sih pas itu,udah kayak berat banget di tubuh. Jadi sambil nunggu merep mulut terus sounding walau suami udah jauh ke alam mimpi. Paginya aku jalan-jalan pagi dengan suami seperti rutinitas beberapa bulan terakhir (walau tidak setiap hari tapi intensitasnya cukup sering). Alhamdulillah punya suami yang kerjanya di rumah aja, jadi bisa all out all time, hehe.
Usai jalan-jalan (yang cukup jauh) kami pulang dan bersih diri. Lha kok jam 8an aku ke kamar mandi buat buang air kecil nemu bercak darah di celana dalam. Ok, it's time. Capcus aku dan suami didampingi Ibu juga pergi ke bidan desa deket rumah Ibuku (beberapa hari terakhir ngungsi ke rumah Ibuku karena memang rencana bersalin di dekat rumah Ibu). Bidannya ternyata lagi dinas di puskesmas so rencana melahirkan langsung pindah ke puskesmas dekat rumah Ibuku -yang beberapa kali aku juga ANC disana-.
Puskesmas DAU, disanalah akhirnya aku melahirkan pertama kali. Waktu itu sekitar jam 08.30 karena sudah ada bercak aku di VT dan ternyata masih bukaan 1. Sama bidan yang periksa disuruh pulang dulu nunggu kontraksi lebih intens dan bukaan nambah. Di rumah menunggu sampai kontraksi terasa lebih sering, hingga sekitar jam 11.30 timbul bercak darah lagi dan kami kembali ke puskesmas. Bukaan 3. Kata bidannya kalo udah bukaan 3 tiap nambah bukaan berlangsung 1 jam, jadi perkiraan baru lahir sekitar habis isya'. Jujur saja waktu itu rasanya udah gak berhenti-berhenti rasa sakitnya. Semua posisi kucoba, dari tidur miring sampai nungging, dan nungging ternyata posisi paling pw. Bolak balik juga ke kamar mandi, rasanya kayak orang pingin BAB mulu tapi gak keluar sama sekali. Hingga sekitar pukul 2 aku merasa ingin BAB saat aku nungging, dan ternyata malah ketuban pecah padahal beberapa menit sebelumnya dicek masih bukaan 5. Setelah ketuban pecah diperiksa lagi ternyata sudah bukaan sempurna, alhamdullillah.
Perjuangan itu baru dimulai disini, saat tenaga rasanya sudah mulai habis karena sebelumnya makan sudah tidak selera. Dan baru aku tahu setelah aku mengikuti kelas prenatal bahwa saat menjelang melahirkan pencernaan menurun kerjanya hingga 70%. Oleh karena itu makanan yang dianjurkan dikonsumsi untuk menambah energy adalah yang manis-manis seperti kurma, coklat, dan kawan-kawannya. Jujur saja aku sudah tidak terlalu ingat bagaimana detail persalinan pertamaku dulu (inilah efek nulisnya baru sekarang setelah 3 tahun berlalu). Yang kuingat aku harus beberapa kali berusaha mengejan sambil dipandu oleh bidan dan para mahasiswa kebidanan yang sedang praktek di sana. Hingga pada satu ejanan kepala Jundi sudah keluar separo aku hampir menyerah, “Bentar,aku gak kuat”. Lalu asupan teh manis hangat terus diberikan. Dan aku boleh mulai mengejan hanya ketika kontraksi terasa. Entah berapa kali aku mengejan hingga akhirnya hangat terasa melewati vagina. Jundi telah lahir,seketika kudengar tangisnya, lalu plasenta keluar dan aku berurusan dengan jahit menjahit. Yap, kelahiran Jundi menyisakan 9 jahitan, selain karena cukup besar (3,2kg) juga karena posisiku meneran sambil memegang kedua paha,bokong diangkat bisa membuat robekan. Rasa sakitnya tak terasa, dibius, tau-tau sudah selesai. Bidan praktek yang membantu seketika langsung bertanya, 'mau hamil lagi mbak?' Dengan tegas kujawab 'ya' rasa sakit sudah hilang dan terlupa, berganti bahagia dengan hadirnya tangis baru di keluarga kecilku.
Finally finish. Ditulis sejak hamil kedua menginjak sekitar 36w dan baru selesai setelah kedua bayi berusia 14day. InsyaAllah segera ditulis juga tentang delivery twin baby.
Malang,6 november 2015
Dari seorang ibu yang selalu ingin belajar memberikan yang terbaik untuk buah hatinya.