bundajundi.blogspot.com – Lanjutan tulisan sebelumnya tentang tahapan perkuliahan di Institut Ibu Profesional. Pada tulisan sebelumnya sudah ada pembahasan kelas Bunda Cekatan. Setelah Bunda Cekatan ada kelas apalagi?
Kelas Bunda Produktif
Kelas ketiga ini lagi-lagi alhamdulillah saya bisa gabung di
batch 1 yang dipandu langsung oleh Ibu Septi Peni. Waktu belajar hampir
sama dengan Bunda Cekatan, yaitu 6 bulan.
Pada awal kelas kami diminta memilih salah satu passion yang
ingin ditekuni dan tidak bisa ganti di tengah jalan seperti saat di kelas Bunda
Cekatan yang bisa ganti-ganti passion.
Sesuai passion yang sudah dipilih, kami dikumpulkan
dalam sebuah cluster yang dibagi menjadi CoHousing. Setiap CoHousing
beranggotakan 10 orang yang tiap orang memiliki rumah berbentuk hexagon. Jadi
karena nama kota tempat kelas adalah Hexagon City, semua rumah juga berbentuk
hexagon alias segienam.
Pada awal perkuliahan pun kami diminta membuat desain rumah
hexagon sesuai dengan passion kami, apa saja ruangan yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan passion. Para mahasiswa penduduk Hexagon City
ini pun memiliki nama sendiri, yaitu Hexagonia.
Hexagon City bisa jadi adalah kota virtual pertama yang ada
di Indonesia, atau bahkan dunia. Pada awal perkuliahan pun ada pemilihan
walikota serta jajarannya.
Materi perkuliahan di kelas ini nama-nama materinya pun
sesuai dengan kata H-E-X-A-G-O-N, meski ada 2 materi awal sebagai pengantar
yang tidak ada di jajaran huruf tersebut.
Berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya, di kelas ini kerja
tim yang utama. Tiap CoHousing membuat satu proyek yang dikerjakan
bersama. Pengerjaan jurnal pun lebih banyak dikerjakan secara tim. Mau tidak
mau, suka tidak suka sistem seperti ini pasti ada saja yang sekadar ‘ndompleng’
nama tanpa benar-benar kerja.
Bagi saya yang paling menarik dari tiap zona adalah zona O
untuk Open Space. Pada zona ini ada virtual conference hexagon city. Setiap
mahasiswa boleh memilih perannya sendiri, mau menjadi speaker, atau
penerima manfaat.
Saya pun mencoba memberanikan diri menjadi speaker dengan
materi ‘Dasar Penyuntingan Tulisan’ meski saya berada di cluster bisnis. Saya
nekat berbagi ilmu yang sebenarnya masih sangat sedikit. Namun, di luar
ekspektasi ternyata pilihan saya ini membawa dampak lain yang tidak
terbayangkan. Alhamdulilah peserta pun cukup banyak (meski nggak sampai ratusan
setidaknya nggak krik krik). Peserta pun cukup antusias dalam bertanya. Saat
itu saya menggunakan platform Telegram. Sebenarnya banyak pilihan platform yang
bisa digunakan, tapi saya memilih platform yang tekstual tidak perlu live.
Beberapa waktu setelah acara tersebut, tiba-tiba ada
Hexagonia dari cluster menulis menghubungi saya untuk wawancara. Profil saya
pun dimuat di majalah digital mereka Hexabliss yang membahas tentang jajaran
kiprah perempuan. Masyaallah, di antara banyaknya speaker, mereka
memilih saya. Jika bukan tangan Allah yang menggerakkan, tidak mungkin saya
yang dipilih.
Setahun kemudian setelah acara tersebut yaitu di bulan ini,
saya tiba-tiba diundang mengisi pelatihan mengenai dasar ejaan Bahasa Indonesia
di bagian pemantauan dan pelaporan Departemen Lingkungan Hidup Pupuk Kaltim.
Sebenarnya mereka meminta mengisi di platform Zoom, tapi saya memang kesulitan
mengondisikan anak bayi saya jika harus live. Jadilah digunakan platform
WhatsApp. Terbayang nggak, ibu rumah tangga mengisi pelatihan di perusahaan
besar. Yah, meski bukan pelatihan penting, bagaimanapun ini adalah sebuah
pencapaian.
Selanjutnya tentu kelas terakhir dari perkuliahan.
Kelas Bunda Salihah
Inilah jenjang terakhir itu, banyak teman memutuskan tidak
lanjut ke tahap ini. Eh udah mulai di tahap Bunda Produktif sih, ada yang dari
awal tidak ikut, ada yang mundur di tengah jalan. Saking beratnya kelas Bunda
Produktif, di awal perkuliahan ada pembayaran komitmen fee yang akan
dikembalikan bagi yang lulus hingga akhir perkuliahan.
Namun, untuk Bunda Salihah tidak ada komitmen fee tersebut.
Kelas ini menurut saya hampir sama dengan kelas sebelumnya yaitu membuat
proyek. Yang berbeda proyek di kelas ini diawali dari masalah yang dihadapi
masing-masing mahasiswa.
Setiap mahasiswa memilih satu masalah untuk dipecahkan
melalui proyek. Selain itu ada juga kampanye mencari tim baik dari sesama mahasiswa
atau non mahasiswa yang memiliki masalah yang sama untuk dipecahkan bersama.
Berbeda dengan sebelumnya, saya memilih mengangkat masalah
agama untuk saya. Berawal dari kajian yang saya ikuti mengenai Wirid Al-Qur’an,
Sang Ustaz mengatakan bahwa kebanyakan orang malah belum khatam tadabur
Al-Qur’an. Saya pun merasa menjadi salah satu yang belum khatam tersebut. Selama
ini membaca terjemah Al-Qur’an loncat-loncat sesuai kebutuhan.
Alhamdulilah ada empat orang yang mau bergabung bersama tim
saya, 1 mahasiswa Bunsal, 3 mahasiswa non Bunsal. Bersama mereka, kami
berkomitmen merutinkan tadabur Al-Qur’an minimal sehari 1 halaman lalu
menuliskan ayat yang berkesan untuk dibagikan di grup.
Sebagai seorang leader, sejujurnya saya merasakan
berat sekali mengawal grup sesuai tahapan instruksi dari materi yang diberikan.
Apalagi untuk mahasiswa non Bunsal, saya merasa ada rasa sungkan untuk mengajak
mereka mikir hal rumit yang sebenarnya mereka tidak berkepentingan.
Alhamdulilah meski tertatih-tatih, saya dan tim pun bisa
melewati setiap tantangan. Hingga saat ini program masih terus berjalan walau
rencana milestone kedua untuk membuka member umum belum bisa terlaksana.
Tim kami pun terpilih lolos untuk melaju ke tahap
selanjutnya yaitu ekosistem ibu pembaharu. Tahap ini kami akan dibimbing untuk
membentuk sebuah komunitas yang berkepanjangan dan akan meninggalkan sebuah legacy
kelak ketika diri ini hanya tinggal nama.
Namun, saya pribadi masih ragu untuk lanjut karena milestone
kedua belum juga kami eksekusi. Semoga ada jalan untuk segera mengeksekusi.
Dari penjelasanku, kamu tertarik ikut perkuliahan juga? Ikut
pendaftaran Foundation dulu, ya. Bisa sering-sering cek media sosial Ibu
Profesional agar tidak ketinggalan infonya.
Salam manis dariku,
Agie Botianovi.