Mikul dhuwur mendem jero, meninggikan kebaikan keluarga dan menutupi kekurangannya. Hal ini bisa dimaknai juga meninggikan derajat keluarga. Sebuah pepatah yang menjadi pedoman wanita Jawa dalam berkeluarga.
Begitu pula yang dilakukan Alina Suhita, tokoh utama dalam novel Hati Suhita ini. Menikah dalam perjodohan serta penolakan suami atas dirinya tak lantas membuatnya menyerah dalam bersabar. Suhita digambarkan sebagai sosok wanita pesantren penghafal Alquran yang selalu berusaha menampakkan kebaikan suaminya di hadapan semua orang meski sebenarnya yang terjadi sesungguhnya hanyalah sandiwara. Suaminya begitu dingin kepadanya.
Namun dengan kesabaran Alina Suhita dia pun mampu bertahan hingga 7 bulan pernikahan tanpa ada kehangatan. Pernikahan yang didambakan banyak orang, disangkakan banyak orang begitu harmonis nyatanya benar-benar dingin dan hambar. Ditambah dengan adanya orang ketiga di masa lalu yang semakin membuat hati Suhita hancur menghadapi kenyataan. Namun ia bisa bertahan.
Membaca novel ini membuat saya kembali merenungi serta mensyukuri pernikahan yang telah memasuki usia kesembilan tahun. Bersyukur memiliki suami yang hangat dan penuh cinta. Saya pun belajar keteguhan hati Suhita untuk selalu mikul dhuwur mendem jero, suatu hal yang saya mesti terus belajar dan belajar.
Hunna libasulakum wa'antum libasu lahum. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. (Potongan surat Al-Baqarah: 187)
#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-18
Jumat, 24 Mei 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar