Sampai di Jeddah saya sudah membayangkan bakal ada pertanyaan-pertanyaan terutama tentang keberadaan mahram (ada yang bilang seperti ini). Namun ternyata tidak sama sekali, di imigrasi hanya diminta sidik jari dan foto saja lalu paspor distamp.
Namun, bayangan saya untuk sebuah bandara internasional ternyata jauh. Dan ternyata ini memang bandara khusus haji dan umroh, ya gitu deh. Ada celetukan dari teman rombongan, 'lebih mirip terminal bus daripada sebuah bandara' ๐ช.
Rasa kurang nyaman saya bertambah ketika saya ingin ke toilet. Toiletnya wow! Jika sebelumnya saya ke toilet sebuah bandara internasional KLIA yang bersih dan memang disesuaikan standar bandara internasional, maka disini saya mendapati toilet yang jauh dari standar. Ada air tergenang berkecipak di sekitar pintu kamar toilet, aih ada rasa risih gimana gitu ya, inikah gambaran negara tempat islam diturunkan yang salah satu ajarannya kebersihan adalah sebagian dari iman? Yang salah adalah umatnya, bukan ajarannya ๐.
Lanjut ke cerita berikutnya ya. Sampai bandara kami langsung beranjak menuju kota Madinah Al Munawwarah. Perjalanan ke sana cukup lama, mulai jam 11 an siang, sampai di Madinah sudah sekitar pukul 4 sore. Langsung bersih diri, makan malam dan bersiap ke masjid Nabawi pertama kali ๐.
Masjid Nabawi dari Jendela Kamar |
Yang berkesan di Madinah ini, meski dengan biaya minimalis namun hotel yang didapat menurut saya yang jarang masuk hotel termasuk hotel yang bagus, kamar luas dan kamar mandi pun luas dan bersih. Dan satu hal lagi yang berkesan, dari jendela hotel langsung bisa melihat masjid Nabawi di depan mata ๐ญ. Terlihat kubah hijau penanda letak raudha. Dan di dekatnya kami bermalam selama di Madinah.
Lanjut ke tulisan berikutnya ya ๐.
Agie Botianovi
Pasuruan
29 Juni 2018
0 komentar:
Posting Komentar