Ayah, barangkali kata itu sempat
menjadi kata yang asing bagiku. Sejak aku bisa berbicara, atau barangkali jauh
sebelum aku bisa bicara, tidak ada seorang laki-laki yang patut kupanggil ayah.
Tentang sosoknya pun aku tidak tahu. Aku hanya mengenalnya melalui foto dan
cerita orang.
Ayahku meninggal saat aku masih
merangkak. Lever. Hampir tidak ada kenangan yang aku ingat bersamanya. Hanya
samar-samar kuingat diriku yang merangkak di atas peti matinya. Entah, masih
tergambar jelas saat itu aku merangkak menaiki peti matinya, dan rumahku begitu
ramai dikerumuni orang. Semua orang tersedu, bukan menangisi kematian ayahku,
tapi mengasihaniku. Barangkali mereka iba melihat bayi yang masih 11 bulan,
ditinggal mati ayahnya. Ah, selain itu tak ada lagi memory yang masih terekam
di otakku tentangnya.
Mungkin Allah mengijinkanku
mengingatnya karena hari itu menjadi hari penting, untukku yang resmi menjadi
anak yatim, dan untuk ibuku yang resmi menjadi janda muda yang cantik. Ayahku
meninggal saat usia Ibuku masih 25 tahun. Masih ranum-ranumnya. Tak heran,
banyak lelaki yang jatuh hati.
Masa balitaku dipenuhi banyak
hadiah dari para lelaki itu. Ada beberapa yang masih aku ingat, tapi ada satu lelaki yang tentangnya begitu membekas. Kisahku (dan Ibuku) dengannya unik, atau mungkin bisa dibilang
konyol atau lucu?
Lelaki itu seorang mahasiswa yang
kost di rumah saudaraku yang berjarak 1 rumah dari rumahku. Waktu itu aku
dengan segala kenakalanku suka panjat-panjat jendela. Kebetulan, waktu itu aku
di kamar saudaraku manjat-manjat jendela kamar yang kebetulan berseberangan pas
dengan jendela kamar lelaki itu. (Tanpa ada yang mengajari) aku
memanggil-manggil lelaki yang terlihat sedang belajar itu, “Ayah, ayah…”.
Hingga saudaraku memperingatkanku berkali-kali tapi tetap kulakukan. Ah entah,
barangkali aku benar-benar butuh seseorang yang kupanggil ayah. Walau jika kuingat-ingat
aku sudah lupa bagaimana perasaanku kala itu.
Mungkin ini yang ditakutkan
Ibuku. Sejak meninggalnya ayahku, ibuku selalu begitu khawatir tentang
panggilan 'ayah'. Apalagi melihat anak tetangga yang seumuran denganku mulai
bisa memanggil ayahnya. Lalu jika aku mulai bisa memanggil nama ayah, siapakah
ayah yang aku panggil? Ibuku benar-benar khawatir.
Namun gara-gara keasalanku
memanggil orang tersebut dengan panggilan ayah Ibuku dan dia terjalin
kedekatan. Kedekatan Ibuku dengannya akhirnya terus terjalin, waktu itu usiaku
mungkin masih 3 atau 4 tahun. Namun, ketika lelaki itu hendak meminang Ibuku
keluarganya tidak setuju, “Perjaka kok ketemu janda? Sudah punya anak pula”.
Ah, mungkin khayalanku saat itu memiliki seseorang untuk kupanggil ‘ayah’ belum
bertemu jodohnya.
Hingga tak berselang lama ternyata
Allah punya rencana yang lebih indah. Dengan perkenalan yang begitu singkat (sekitar
3 bulan) Ibuku menikah dengan seorang duda. Pernikahan kedua Ibuku itu terjadi
tahun 1994 (kalau aku tidak salah ingat). Aku pernah mendengar Ibuku bercerita,
Ibu menikah tidak hanya untuk mencari pendamping hidup, tapi lebih untuk mencarikan
ayah untukku. Dan Alhamdulillah harapan Ibuku terwujud, suami Ibuku hingga
sekarang telah menjadi seorang ayah bagiku. Aku bersyukur sejak saat itu aku
memiliki seseorang yang aku panggil ‘ayah’. Walau panggilan ‘ayah’ sekarang
juga kutujukan untuk suami tercinta, hehehehe.
Buat semua yang masih memiliki
ayah kandung di samping kalian, sayangilah mereka, bahagiakan mereka, buatlah
mereka bangga, dan jangan pernah mengecewakan mereka. Karena sungguh beruntung
kalian yang dibesarkan dengan kasih sayang utuh Ayah dan Ibu.
Ditulis
oleh Bunda Jundi di sekitar bulan Februari,tapi baru kelar diedit dan dishare
hari ini :D
Lama nggak nulis cukup kaku ternyata tulisan saya…
Lama nggak nulis cukup kaku ternyata tulisan saya…
20 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar