Mengenai ASI ekslusif, saat ini
rupanya Ibu-ibu banyak yang kurang peduli. ASI ekslusif bermakna bahwa asupan
yang diberikan kepada bayi hanyalah ASI, tidak ada yang lain, tidak sufor dan
tidak pula yang lain. Menurut anjuran WHO, ASI ekslusif diberikan pada bayi
hingga usia 6 bulan. Setelah itu bayi baru bisa diperkenalkan dengan makanan
pendamping ASI (MP-ASI). Data di AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang
membuatku memelototkan mata adalah bahwa di Indonesia Ibu yang memberikan
ASInya secara ekslusif kepada bayinya hanya sekitar 15,6%. Sedangkan di
propinsiku sendiri, Jawa Timur, hanya sekitar 10,5% bayi yang mendapatkan ASI
secara ekslusif. Kesadaran akan pentingnya ASI di Indonesia memang menyedihkan,
padahal ASI itu “hak” anak yang harus diberikan ibu. Bayi yang baru lahir
memang belum bisa menuntut haknya sendiri, sehingga banyak orang tua justru mengabaikan
kewajibannya untuk memberikan ASI kepada anaknya secara ekslusif.
Beberapa Ibu mungkin memang memiliki
produksi ASI yang sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi. Menurutku tetap
saja itu semua hanya sugesti, semakin kita stress semakin ASI tidak keluar. Padahal
apabila kita melihat di jaman dahulu, susu formula belum ada seperti sekarang,
dan Ibu-ibu jaman dulu tetap bisa survive
untuk memberikan ASI pada anaknya. Mungkin Ibu-ibu jaman sekarang telah
terdoktrin iklan-iklan susu formula di tv yang menurut saya sangat tidak pada
tempatnya. Jika jaman dulu mungkin ibu-ibu bisa menggunakan tajin, tapi saya
rasa hanya sedikit yang diberikan, tidak seperti pemberian susu formula yang
sepertinya benar-benar menggantikan peran ASI untuk kehidupan bayi.
Saat ini pemberian ASI secara
ekslusif yang terpenting adalah adanya dukungan dari suami atau ayah si bayi. Menurut
AIMI dukungan ayah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemberian asi
secara ekslusif. Menurut penelitian, 98% ibu berhasil memberi asi ekslusif
dengan dukungan suami, sedangkan ibu yang tidak didukung suami hanya 23% yang
berhasil memberi asi secara ekslusif. Jadi proses menyusui bukan hanya urusan
anak dengan ibu lalu ayah tidak peduli, ayah justru berperan sangat penting
pada proses ini.
Dengan dukungan suami yang aku
dapatkan, aku berhasil memberikan ASIku secara ekslusif kepada Jundi hingga dia
berusia 4 bulan sekarang ini. Namun ini bukan hal yang mudah semudah
membalikkan tangan. Seperti yang sudah aku ceritakan di tulisanku sebelumnya,
anakku sempat meneguk 90 mL susu formula di saat awal-awal kelahirannya. Aku menyesali
hal tersebut, namun yang telah terjadi karena kekurangsabaran itu bisa menjadi
pelajaran jika nanti anakku yang kedua terlahir, aamiin.
Menginjak usia satu bulan kelahran
Jundi, godaan pemberian susu formula kembali terjadi, aku yang sudah akan usai
dari masa nifas ingin menunaikan ibadah puasa Ramadhan yang saat itu tinggal
setengah jalan. Banyak orang berkata bahwa ASI Ibu yang berpuasa rasanya tidak
enak, basi, membuat bayi sakit perut, dan lain sebagainya. Namun kembali aku
beruntung karena bertemu dengan komunitas peduli ASI. Niat untuk memberikan
susu formula di saat aku puasa akhirnya tidak pernah terjadi. Di hari pertama
aku puasa aku mencoba untuk tetap ngASI secara ekslusif, dan hasilnya aku kuat
hingga beduk maghrib. Alhamdulillah hingga
akhir Ramadhan puasaku tetap bisa penuh dan Jundi juga tetap bisa penuh meneguk
ASIku, tanpa ada keluhan seperti Jundi diare dan lain-lain. Di saat seperti ini
dukungan suamilah yang terpenting, terutama untuk mematahkan mitos-mitos yang
tidak masuk di akal dari orang-orang di sekitarku.
Pasca hari raya idul fitri adalah
masa-masanya aku harus kembali berjuang untuk segera menyelesaikan skripsiku. Aku
akan sering meninggalkan Jundi dengan ayah atau eyangnya. Masa-masa ini adalah
masa yang cukup berat untukku. Harus merawat Jundi yang masih butuh perhatian
24 jam, mengerjakan revisian skripsi serta mempersiapkan ujian dan semua tetek
bengeknya, belum lagi harus tetap mengurus rumah mulai dari masak sampai
bersih-bersih. Namun ternyata semua kegiatan yang full itu belum cukup, aku juga masih harus mempersiapkan ASIP (ASI
Perah) untuk Jundi ketika akan kutinggal ke kampus untuk menemui dosen.
Dalam tekanan deadline skripsi yang semakin dekat, jujur aku cukup dibuat penat,
apalagi dalam keadaan mengantuk tiap pagi aku masih harus memompa ASI untuk
Jundi. Terkadang saat memompa air mata ini menetes, ASI yang keluar tidak cukup
banyak. Mungkin hal ini juga terjadi akibat tekanan yang aku rasakan. Belum lagi
beberapa kali saat memerah dalam keadaan ngantuk botol ASIP yang sudah terisi
setengah penuh harus terguling dan membuat ASI yang sudah tertampung harus
terbuang begitu saja. Menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan. Dan aku
kembali beruntung, suamiku terus mendukung, mensupportku, menguatkanku, karena sesungguhnya aku mampu.
Seorang Ibu menyusui juga memiliki ‘derita’
sendiri di saat harus sedikit waktu berjauhan dengan sang bayi. Walau urusan
penyediaan ASIP telah bisa kulewati, namun tetap saja tiap kali aku meninggalkan
Jundi rasa sakit menggerogoti dadaku. Produksi yang terus menerus membuatnya
penuh dan terasa sakit jika tidak dikeluarkan. Paling parah terjadi saat aku
wisuda kemarin, dari pagi aku sudah harus ke kampus hingga siang. Dan hal ini
tidak saja membuat dadaku sakit, tapi juga membuat kebaya, kerudung, serta
jubah hitam wisudaku basah, ASIku merembes walau aku telah mengenakan breastpad.
Tapi semua itu telah usai, aku kini
bisa menjaga Jundi dan mencurahkan perhatianku penuh pada rumah tanggaku, dan
tentu saja ASI ekslusif akan aku berikan pada Jundi hingga dia cukup umur untuk
diberi MP-ASI.
22
Oktober 2012
10.55
Ditulis
dengan batuk yang tak kunjung usai -_-
0 komentar:
Posting Komentar