“Apa? Dimandikan juga? Nggak mau,
pokoknya aku nggak mau anakku dimandikan orang lain…” si mbak UH tiba-tiba
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana menitipkan anak ke sebuah TPA
jika nanti cuti melahirkannya telah habis.
“ Ya sudah, nggak usah ngajar aja
kamu!” suaminya pun menyahut.
Mbak UH yang bekerja sebagai dosen
saat ini memang tengah hamil tua, anak pertama. Obrolan itu sempat tercipta
saat keluarga kami pergi bersilaturahim ke rumah mereka. Saat itu kami sedang
saling bercerita mengenai TPA, Tempat Penitipan Anak. Mbak UH dan suaminya MZ
sama-sama bekerja sebagai tenaga pengajar yang notabene setiap hari harus
meluangkan waktu pergi ke sekolah. Wacana mengenai bagaimana nantinya anak
pertama mereka tiba-tiba tertuangkan.
Cuti melahirkan yang hanya dijatah
2 bulan, membuat keluarga ini nantinya harus menitipkan anaknya ke TPA jika
nanti si Ibu sudah harus pergi mengajar. Ditambah lagi kedua pasangan ini
sama-sama perantau, jadi orang tua mereka berdua sama-sama tidak berada di
Malang.
TPA saat ini yang telah banyak
ddirikan dimana-mana memang merupakan satu solusi yang tepat bagi keluarga yang
suami istri sama-sama bekerja. Namun dalam kasus ini si mbak UH baru tahu jika
salah satu pelayanan di TPA adalah turut memandikan bayi, sehingga saat di
ambil ibunya pulang kerja bayi itu telah bersih dari kotoran seharian. Hal inilah
yang menarik, mbak UH tidak mau anaknya dimandikan orang lain –orang asing-.
Aku yang notabene tidak terlalu
mengerti tentang efek psikologis dari memandikan bayi tentunya tidak terlalu
mempermasalahkan jika bayiku dimandikan orang lain. Tapi ternyata dari kejadian
di rumah pasangan itu aku baru tahu bahwa, moment
memandikan bayi merupakan moment
yang cukup penting agar terjadi bonding
yang baik antara si Ibu dengan bayinya. Jika kuingat-ingat, hal tersebut memang
benar adanya, setiap kali aku memandikan bayiku, si kecil Jundi selalu
menatapku dari mulai aku menyabuninya sampai selesai aku menghandukinya. Kalau kata
orang Jawa, si anak namatno wajahe Ibue,
seperti ketika si Ibu menyusui anaknya.
Aku pun cukup bersyukur bahwa
anakku dimandikan ‘orang asing’ hanya ketika 6 hari pertama di kehidupannya,
saat pandangan matanya belum sempurna. Setelah itu orang lain selain aku
mungkin hanya Ibuku, mertuaku, budheku,
kakak iparku yang pernah memandikan bayiku, itu pun bisa dihitung dengan jari,
selebihnya hanya aku sampai saat ini yang memandikan bayiku.
Barangkali jika masih saudara tidak
menjadi terlalu masalah jika sekali dua kali ikut memandikan bayiku, menurutku
itu adalah berbagi kebahagiaan, seperti Ibuku yang sering meminta kesempatan
memandikan bayiku saat Ibuku sedang berada di rumahku ketika waktunya si Jundi
mandi. Kata Ibuku, “Kalau kamu kan sudah tuwuk
setiap hari mandikan, lhah Ibu kan nggak tiap
hari”.
Kembali lagi bahwa pengetahuan
memang memiliki peranan yang cukup besar dalam membesarkan bayi, karena
kurangnya ilmu membuat orang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk buah hati
mereka. Hal ini seperti beberapa orang di sekitar saya, hanya sebagai contoh saja. Teman SMA saya si SR sampai sekarang ‘belum
berani’ memandikan bayinya sendiri, padahal usianya hanya berjarak 1 bulan dari
Jundi –lebih tua Jundi-. Setiap hari Ibunya yang memandikan bayinya, entah
karena telah bergantung atau tidak mau belajar, ataupun karena dia memang
tinggal serumah dengan Ibunya, sehingga dia tidak ada istilah kepepet harus
bisa.
Ada lagi kisah Ibu yang telah
melahirkan anaknya yang kedua. Jika dibandingkan denganku yang baru memiliki
anak pertama, tentunya Ibu itu lebih berpengalaman dalam memandikan bayi
daripada aku. Namun yang terjadi dia tidak berani dan tidak pernah memandikan
sendiri anaknya hingga usia anaknya sekitar 1,5 bulan, entah karena alasan apa.
Beberapa saudaraku pun begitu, ternyata banyak dari mereka yang saat memiliki
anak tidak pernah memandikan anaknya sendiri, bergantung pada Ibu mereka.
Untuk semua calon Ibu, yuk belajar
memandikan bayi kita sendiri, toh semua itu hanya butuh naluri, dan semua Ibu
pasti punya naluri untuk merawat anaknya sendiri. Semoga bermanfaat ^^
20
Oktober 2012
5.42
Menulis
ini dengan hidung ‘masih’ mbeler :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar