Jundi, putra pertamaku ini kini
sudah berumur 2 tahun 6 bulan, 2,5 tahun. Bersamanya aku banyak belajar hal
baru. Tentang arti sebuah perhatian, kepercayaan, dan banyak hal lain dalam
hidup ini. Orang dewasa harus banyak belajar dari kehidupan seorang balita,
keluguan, kepolosan, kejujuran, dan segalanya. Merekalah sesungguhnya fitrah
dari kehidupan yang belum terkontaminasi.
Hari ini aku memperhatikan satu
hal dari diri seorang Jundi, kemandirian. Barangkali semua orang tua akan
senang dan bangga jika memiliki anak yang mandiri. Tapi aku juga sadar, ada
satu sisi dalam sudut hatiku yang sedikit tersentil ketika melihat
kemandiriannya. Aku seakan merasa dia akan segera terlepas dariku dan tak lagi
membutuhkanku. Bukankah salah satu kebahagiaan adalah merasa dibutuhkan orang
lain? Ah, tapi ini beda kawan, dari ketergantungan sepenuhnya saat masih janin,
lalu asi ekslusif, mp asi, dan kini setelah kusapih semakin banyak hal
kemandirian yang terbentuk dalam dirinya.
Sore tadi aku tersentil saat dia
memintaku pulang ke rumah saat dia berada di rumah Eyangnya. “Undi inggal”
begitu katanya, maksudnya Jundi ditinggal saja. Ah, padahal waktu itu dia sedang
makan. Walau dia makan sendiri tapi setiap makan sendiri aku selalu menemaninya,
mengambili bulir-bulir nasi yang terlewat dari mulutnya. Tapi kali ini tidak,
dia tak mau kutemani, dia memilih makan di sebelah O (panggilan Jundi untuk
Omnya) yang juga sedang makan. Terkadang ada rasa khawatir dia akan merepotkan ketika
aku meninggalkan dia di rumah Eyangnya sendiri. Maka sebelum aku
meninggalkannya pulang aku mengambil janji lagi dari mulutnya, “Jundi kalo mau
pipis bilang O ya, janji?” “Anji” ucap dia sambil mengacungkan 1 jarinya ke
atas.
Ah, anakku semakin hari semakin
keluar banyak sisi kemandirian dalam dirinya. Pertama kali saat dulu sekitar
usia 1 tahun dia sudah suka meminta makan sendiri, walau aku memang tidak
menerapkan BLW untuk Jundi. Keinginannya untuk bisa seperti orang dewasa sangat
kuat. Maka ketika tiap kali makan aku sudah menyediakan perlak untuknya, agar
makanan yang tercecer tidak terlalu membuat lengket lantai dan susah
dibersihkan. Tapi bagaimanapun harus aku akui untuk menumbuhkan sisi
kemandirian yang satu ini butuh banyak sekali stok sabar, mulai makanan
tercecer dimana mana sampai makanan di piring dibuat mainan layaknya pasir
dengan sendoknya.
Barangkali sebelum itu sudah
banyak sisi-sisi lain dalam kemandiriannya, seperti akhirnya bisa berjalan
sendiri atau yang lainnya.
Seketika aku pun teringat pada
masa kecilku dulu. Aku dulu mulai usia TK tinggal dengan Eyangku, Ibuku menikah
lagi. Walau masih dalam 1 kota tapi aku tinggal dengan Eyang. Ibu bertemu
denganku barangkali minimal 1 pekan 1 kali, saat Ibu ada waktu luang dari
pekerjaan untuk bisa mengunjungiku. Suatu kali Ibu ada waktu saat aku masih
sekolah, waktu itu aku masih kelas 1 SD (seingatku). Karena ingin bertemu maka
Ibu mengunjungi sekolahku, namun sayang aku justru tidak mau menemui Ibu lama-lama.
Pikirku kala itu, ‘Ah ngapain Ibu ke sekolah, aku kan sudah besar, aku sudah
bisa melakukan semua sendiri’. Untuk seorang aku, barangkali kemandirian harus
datang jauh lebih cepat daripada semua teman sebayaku. Aku tinggal dengan
seorang Eyang tua, maka aku harus bisa mengerjakan semua sendiri. Masih usia SD
aku sudah bisa memasak nasi sendiri (waktu itu belum ada rice cooker) dan
memasak lauk sendiri. Bahkan untuk mencuci, setrika dan yang lainnya sering
kukerjakan sendiri.
Bagaimanapun lewat keadaan
seorang bisa menjadi ‘terpaksa’ mandiri. Namun keterpaksaan lambat laun akan
menjadi biasa. Dan lagi-lagi aku percaya, di dunia ini tidak ada yang sia-sia,
semua pasti ada hikmahnya.
Untuk Jundi, Bunda menyayangimu
dan menginginkan semua yang terbaik untukmu. Peluk dan cium hangat untukmu
sayang.
Malang, 15 Desember
2014
9.14